Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemberontakan Peta di Blitar 14 Februari 1945

 


Pada tanggal 14 Februari 1945, dalam catatan sejarah nasional Indonesia menandai sebuah peristiwa sejarah yang terjadi di Kota Blitar, peristiwa tersebut terjadi kurang lebih setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Pada tanggal tersebut terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok Pasukan Peta (Pembela Tanah Air).

PETA (singkatan dari "Pembela Tanah Air") adalah organisasi militer yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Pendudukan Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera sebagai antisipasi jika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Sekutu 
(Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda) yang berada di Front Pertempuran Asia Pasifik pada Perang Dunia II. Tentara-tentara PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Pendudukan Jepang di Indonesia. 

Berbeda dengan tentara-tentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur. Hal ini demikian terjadi karena memang tujuan pembentukan PETA sendiri untuk mempertahankan wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa.

Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.


Para komandan melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan tidak semestinya oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan, bagaikan budak yang harus bekerja tanpa mengenal batas waktu dan mendapatkan perlakuan yang intimidatif. Banyak dari Romusha yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit. Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan martabat wanita-wanita Indonesia. 


Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah dari pada anggota PETA. Hal tersebut dinilai merendahkan harga diri beberapa Periwa Peta.

Dalam buku Tentara Gemblengan Jepang (1988) yang ditulis oleh Joyce L. Lebra dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain. Shodanco adalah jabatan dalam struktur Peta yang dapat disebut juga sebagai Komandan Pleton


Sejak bulan September 1944 sudah digelar pelbagai pertemuan yang bersifat rahasia. Shudancho Supriyadi menyusun rencana revolusi yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan Indonesia, jauh dari beberapa catatan yang kita ketahui bahwa peristiwa tersebut hanya bersifat pemberontakan. Hal ini terlihat dari komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat pemberontakan PETA di Blita yang menguhubungi komandan-komandan batalyon dipelbagai wilayah lain untuk bekerja sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan rakyat.

Pada tanggal 14 Februari 1945, dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.


Namun dilain pihak ternyata secara mendadak terjadi pembatalan pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, hal tersebut karena Kempetai sudah menerima informasi mengenai rencana pemberontakan yang akan dilakukan.

Shodancho Supriyadi beserta para komandan dan anggota PETA di Blitar juga dihadapkan pada posisi sulit. Apabila terus melanjutkan perlawanan, mereka akan kalah karena jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan jumlah tentara Pendudukan Jepang. Jika perlawanan dibatalkan pun tentara Pendudukan Jepang sudah mengetahui rencana aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para pemberontak akan ditangkap, lalu dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni hukuman mati.

Sebenarnya, banyak yang menilai rencana aksi pemberontakan PETA belum siap, salah satunya Sukarno. Dalam perbincangan yang berlangsung, Bung Karno sempat meminta Shodancho Supriyadi dan para perwira PETA yang lain siap memikul tanggung jawab maupun akibat apabila aksi pemberontakan PETA ternyata gagal total.



Bung Karno dan Supriyadi
Foto: rosodaras

Ketika Sukarno pulang ke Blitar , yang merupakan kota lokasi rumahnya dan tempat tinggal orangtuanya, datanglah beberapa perwira PETA menemuinya. "Kami sudah merencakan pemberontakan, tetapi kami ingin tahu pendapat Bung Karno sendiri," ujar Shodancho Supriyadi, Pemimpin Perwira PETA yang menemui Bung Karno. Sukarno begitu lama terdiam, sampai akhirnya Shodancho Supriyadi menegaskan, "Kita akan berhasil!"

Sukarno akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Pertimbangkanlah masak-masak. Pertimbangkan untung dan ruginya," ujar Bung Karno. Masih dengan nada suara tertekan karena hati kecilnya tidak setuju langkah Supriyadi dan kawan-kawan, Sukarno melanjutkan, "Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan pemberontakan tidak hanya dari satu segi." Shodancho Supriyadi pun menimpali pendapat Bung Karno dengan penuh semangat, "Saya menjamin. Kita akan berhasil!".

"Saya berpendapat, saudara-saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang," tegas Bung Karno yang kembali mengutarakan pendapatnya. Usai bertutur kata, Bung Karno kemudian memandangi wajah-wajah para pemuda yang penuh semangat dan berani menyabung nyawa demi Indonesia merdeka. Bung Karno sadar betul bahwa tidak akan ada yang bisa menghalang-halangi tujuan para pemuda tersebut sedikit pun. Oleh karena itu, Bung Karno lantas menyatakan, "Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak mati saudara-saudara semua."


"Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?", tanya seorang pemuda. "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumannya otomatis," jawab Bung Karno seraya menambahkan bahwa kalau sekiranya mereka tetap bertekad bulat hendak memberontak, Bung Karno tidak lagi melarang. Jika perlu, Bung Karno akan ikut membuat rancangan pemberontakan. Akan tetapi, Bung Karno juga harus tetap menjaga hubungan dengan pemerintahan Jepang di Jakarta, yang sedang intens digarap Sukarno dan para tokoh pergerakan lain seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dalam rangka menuju kemerdekaan Indonesia pada masa transisi tahun 1945.



Selembaran yang mengkisahkan Pemberontakan Peta di Blitar 1945. Foto: Pinterest

Atas beberapa pertimbangan dan persiapan yang masih diragukan kesiapannya. Shodancho Supriyadi memuruskan pada tanggal 13 Febuari 1945 bahwa pemberontakan akan tetap dilakukan. Pemberontakan ini tetap dilakukan untuk membalas perlakukan tentara Pendudukan Jepang. Supriyadi mengingatkan anggota yang akan melakukan pemberontakan untuk siap mengorbankan nya melawan tentara Jepang.

Perlu diketahui bahwa tidak semua anggota Daidan Blitar ikut memberontak. Shodancho Supriyadi meminta para pemberontak tidak menyakiti sesama anggota PETA walaupun tak mau memberontak. Akan tetapi, terdapat perintah untuk membunuh semua orang Jepang.


Tepat tanggal 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer tentara Pendudukan Jepang. Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin. Akan tetapi ternyata kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan, karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA. Dalam aksi yang lain, salah seorang bhudancho (bintara) PETA merobek poster bertuliskan "Indonesia Akan Merdeka" dan menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah Merdeka!".

Pemberontakan PETA sendiri akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Shodancho Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang. Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk menghentikan pemberontakan PETA. Para pemberontak pun terdesak. Difasilitasi oleh Dinas Propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho Muradi, salah satu pentolan pemberontak, dan meminta seluruh pasukan pemberontak kembali ke markas batalyon.


Shodancho Muradi mengajukan syarat kepada Kolonel Katagiri, yakni:

  1. Senjata para pemberontak tidak boleh dilucuti Jepang; dan
  2. Para pemberontak tidak boleh diperiksa atau diadili Jepang.
Kolonel Katagiri pun setuju. Dia memberikan pedangnya sebagai jaminan. pemberian pedang tersebut sebagai janji seorang samurai yang harus ditepati. Akan tetapi, janji Katagiri ternyata tidak bisa diterima oleh Komandan Tentara Jepang XVI. Mereka malah mengirim Kempetai untuk mengusut pemberontakan PETA. Jepang pun melanggar janjinya.

Pasca pemberontakan sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Daidan Blitar ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili secara militer di Jakarta. Sebanyak enam orang divonis hukuman mati di Ancol pada tanggal 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan.


Nasib Shodancho Supriyadi tidak diketahui. Shodancho Supriyadi menghilang secara misterius tanpa ada seorang pun yang mengetahui kabarnya. Sebagian orang meyakini Shodancho Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Sebagian orang juga ada yang meyakini Shodancho Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan-hutan sekitar Kota Blitar. 

Dinas Sejarah TNI AD sendiri tak menutup pintu kemungkinan Supriyadi tak ikut wafat dalam pemberontakan Blitar. Majalah Vidya Yudha No 12/III/1971 memuat tulisan Mayor Soebardjo yang mengatakan bahwa ia mendengar dari Letnan Sasmita kalau Supriyadi tewas di Gunung Wilis menjelang datangnya kemerdekaan. Satu regu tentara Jepang menembaknya ketika ia tengah mereguk air minum.

Setelah Indonesia merdeka, Shodancho Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah muncul untuk menerima mandat tersebut hingga saat pelantikan para menteri. Kemudian saat para menteri dilantik oleh Presiden Soekarno, tertulis "Menteri Pertahanan belum diangkat". Akhirnya, karena Supriyadi benar-benar, Presiden Soekarno pun mengangkat dan melantik Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.



Monumen Peta di Blitar, Jawa Timur. Foto: pdiperjuangan-jatim.com

Pemerintah Republik Indonesia pun mengakui jasa-jasa Supriyadi dan akhirnya mengangkatnya sebagai salah satu pelopor kemerdekaan serta sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Untuk mengenang perjuangan pemberontakan tentara PETA pimpinan Shodancho Supriyadi, tepat di lokasi perlawanan didirikan Monumen PETA yang terdiri atas tujuh buah patung tentara PETA dalam posisi siap menyerang, di mana patung Shodancho Supriyadi diletakkan tepat di tengah monumen sebagai pemimpin pemberontakan PETA.

Posting Komentar untuk "Pemberontakan Peta di Blitar 14 Februari 1945"