Revolusi Neolitik
Zaman Neolitikum, merupakan perkembangan dan transisi zaman batu yang
memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Pada zaman ini telah
hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru.
Zaman Neolitikum artinya zaman batu muda. Indonesia baru mengalami masa
neolitikum sekitar kurun 1.500 SM.
Dapat dikatakan bahwa neolitikum itu adalah suatu revolusi yang sangat
besar dalam peradaban manusia. Revolusi neolitik adalah perubahan secara
menyeluruh yang berlangsung dengan cepat yang terjadi pada zaman
prasejarah akhir dimana masyarakat mulai menggunakan cara-cara baru
untuk bertahan hidup. Perubahan mendasar terjadi pada awal tahapan ini.
Pada masa ini manusia yang sebelumnya sekedar pengumpul makanan (food
gathering), mulai menjadi penghasil makanan (food producing) dengan
bertani dan berternak.
Zaman neolitikum merupakan suatu perubahan yang besar, bahkan dapat
disebut revolusi peradaban manusia. Revolusi neolitik adalah perubahan
secara menyeluruh yang berlangsung dengan cepat menandai akhir zaman
prasejarah. Perkembangan pola hidup manusia terlihat sejak masyarakat
mulai menggunakan cara-cara baru untuk bertahan hidup.
Perubahan mendasar terjadi pada awal tahapan ini. Pada masa ini manusia yang sebelumnya sekedar pengumpul makanan (food gathering), mulai menjadi penghasil makanan (food producing) dengan bertani dan berternak.
Masyarakat pada masa bercocok tanam ini hidup menetap dalam suatu
perkampungan yang dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya rumah
mereka masih kecil-kecil berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang
dibuat dari daun-daunan. Rumah ini diduga merupakan corak rumah paling
tua di Indonesia yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di Timor,
Kalimantan Barat, Nikobar, dan Andaman.
Bercocok tanam dan hidup menetap merupakan ciri kehidupan masa neolitiku. Foto: sharpsocialstudies |
Bentuk-bentuk yang lebih besar kemudian muncul sejalan dengan penggunaan
tiang. Rumah ini berbentuk persegi panjang dan dapat menampung beberapa
keluarga inti. Rumah-rumah tersebut mungkin dibangun berdekatan dengan
ladang-ladang mereka atau agak jauh dari ladang. Rumah yang dibangun
bertiang itu dalam rangka menghindari bahaya dari banjir dan binatang
buas.
Karena sudah hidup menetap dalam suatu perkampungan maka tentunya dalam
kegiatan membangun rumah mereka melaksanakan secara bergotong-royong.
Gotong-royong tidak hanya dilakukan dalam membangun rumah, tetapi juga
dalam menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik
hasil tanaman,membuat gerabah, berburu, dan menangkap ikan.
Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan
hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa
bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian
dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk
beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat
dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan
atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang
indah-indah. Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu,
tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada
kedua belah mukanya. Dalam masa ini orang sudah menggosok alat-alat
yang terbuat dari batu hingga halus.
Manusia pada masa Neolitikum ini pun telah mulai membuat lumbung-lumbung
guna menyimpan persediaan padi dan gabah. Tradisi menyimpan padi di
lumbung ini masih bisa dilihat di Lebak, Banten. Masyarakat Baduy di
sana begitu menghargai padi yang dianggap pemberian Nyai Sri Pohaci.
Mereka tak perlu membeli beras dari pihak luar karena menjualbelikan
padi dilarang secara hukum adat. Mereka rupanya telah mempraktikkan
swasembada pangan sejak zaman nenek moyang.
Dengan kehidupannya yang telah menetap, memungkinkan masyarakatnya telah
mengembangkan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sehingga dalam zaman
Neolitikum ini terdapat dasar-dasar kehidupan. Berdasarkan alat-alat
yang ditemukan dari peninggalannya dan menjadi corak yang khusus, dapat
dibagi kedalam beberapa golongan, yaitu:
1.Kapak Persegi
Sebutan kapak persegi didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya berbentuk persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk alatnya sama, yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang melengkung tersebut.
Kapak persegi ialah suatu alatyang dibuat dari batu kalisedon atau agat
yang atasnya (bidang distal) melengkung, sedang bidang bawahnya (bidang
proximal) sedikit melengkung. Bangian pangkal biasanya lebih kecil
daripada bagian ujungnya. Bagian pangkal ini tidak digosok. Bagian
ujungnya disebut juga bagian tajaman, digosok atau diasah hanya pada
sisi bawah (pada bidang proximal saja). Beliung tersebut digosok hingga
halus dan mengkilat. Cara menggunakan ialah diikat pada setangkai kayu.
Cara mengikatnya ialah melintang (sama seperti cangkul).
Kapak Persegi. Foto: Jurnalponsel
Kapak persegi ini digunakan untuk melubangi kayu atau kalau yang
berukuran kecil digunakan untuk membuat ukiran. Hal ini diketahui dari
kebiasaan beberapa suku Negro Afrika yang menggunakan alat-alat demikian
untuk membuat ukiran kayu.
Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu yang pada
bagian tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang
persegi. Kapak persegi menyebar di Indonesia bagian Barat, diperkirakan
budaya ini disebarkan dari Yunan di Cina Selatan yang berimigrasi ke
Laos dan selanjutnya ke Kepulauan Indonesia.
Contoh dari kapak persegi adalah yang ditemukan di Bengkulu, terbuat
dari batu kalsedon; berukuran 11,7×3,9 cm, dan digunakan sebagai benda
pelengkap upacara atau bekal kubur.
1. Kapak lonjong
Disebut kapak lonjong karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan
bentuk kapaknya sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan
untuk tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam.
Kebudayaan kapak lonjong disebut Neolitikum Papua, karena banyak
ditemukan di Irian.
Kapak lonjong tersebar di Indonesia bagian timur yang didatangkan dari
Jepang, kemudian menyebar ke Taiwan, Filipina, Sulawesi Utara, Maluku,
Irian dan kepulauan Melanesia.
Kapak lonjong yang ditemukan di Klungkung, Bali, terbuat dari batu
agats; berukuran 5,5×2,5 cm; dan digunakan dalam upacara-upacara
terhadap roh leluhur.
Kapak Lonjong. Foto: Jurnalponsel
Kapak lonjong berbentuk seperti kapak persegi, akan tetapi bidang
distalnya melengkung dan menyudut. Bidang penampangnya berbentuk segi
lima. Alat ini kemungkinan dipergunakan untuk membuat perahu (dari
sebatang pohon). Alat lain ialah kapak, yang bidang distal dan bidang
proximalnya mempunyai bentuk yang sama. Tajaman diasah dari kedua sisi.
Cara menggunakannya ialah diikat pada sebatang kayu dengan posisi
membujur (seperti tamahawk suku Indian Amerika).
Dari batu jenis agat dan jaspis (berwarna hijau kekuning-kuningan)
dibuat pula gelang-gelang. Gelang-gelang ini digosok halus dan sering
digunakan sebagai bekal kubur. Sudah dapat dipastikan gelang ini
berfungsi juga sebagai perhiasan badan. Ada gelang kecil diameternya
yang mungkin digunakan bagi anak kecil atau bayi.
Cara pembuatannya cukup kompleks. Mula-mula batu agat dibentuk dengan
cara memukul-mukul dengan batu lainsehingga berbentuk diskus (bulat
pipih). Kemudian bagian bawah (salah satu sisi) digosok hingga rata.
Sisi yang lain dibor dengan sebatang bambu. Pada permukaan bambu itu
diberipasir dan mungkin air, supaya batu lebih cepat terkikis.
Mengebor memerlukan waktu lama.Setelah batu berlubang lalu dilanjutkan
dengan menggosok atau menghaluskan lubangnya dengan alat yang terbuat
dari fosil tanduk kambung hutan. Sisi luarnya pun digosok hingga halus.
Masyarakat bercocok tanam ini memiliki ciri yang khas. Salah satunya
ialah sikap terhadap alam kehidupan sudah mati. Kepercayaan bahwa roh
seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal sangat mempengaruhi
kehidupan mereka.
Mereka sudah mengenal animisme (roh nenek moyang), dinamisme
(benda-benda). Orang-orang yang telah meninggal rohnya pergi ke suatu
tempat yang tidak jauh dari tempat tinggalnya atau roh orang yang
meninggal itu, tetap berada disekitar wilyah tempat tinggalnya, sehingga
sewaktu-waktu dapat dimintai bantuannya. Kepercayaan dinamisme
Dinamisme merupakan kepercayaan bahwa setiap benda memiliki kekuatan
gaib.
Upacara yang paling menyolok adalah upacara pada waktu penguburan
terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Biasanya
yang meninggal dibekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari
seperti perhiasan, periuk, dan lain-lain agar perjalanan si mati ke alam
arwah terjalin keselamatannya.
Jasad seseorang yang telah mati dan mempunyai pengaruh kuat biasanya
diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Jadi, bangunan itu
menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan lambang si mati.
Bangunan-bangunan yang dibuat dengan menggunakan batu-batu besar itu
pada akhirnya melahirkan kebudayaan yang dinamakan megalitikum (batu
besar).
Kemajuan masyarakat dalam masa neolitikum ini tidak saja dapat dilihat
dari corak kehidupan mereka, tetapi juga bisa dilihat dari hasil-hasil
peninggalan budaya mereka. Yang jelas mereka semakin meningkat
kemampuannya dalam membuat alat-alat kebutuhan hidup mereka. Alat-alat
yang berhasil mereka kembangkan antara lain: beliung persegi, kapak
lonjong, alat-alat obsidian, mata panah, gerabah, perhiasan, dan
bangunan megaltikum.
Alat-alat obsidian merupakan alat-alat yang dibuat dari batu kecubung.
Alat-alat obsidian ini berkembang secara terbatas di beberapa tempat
saja, seperti: dekat Danau Kerinci (Jambi), Danau Bandung dan Danau
Cangkuang Garut, Leuwiliang Bogor, Danau Tondano (Minahasa), dan sedikit
di Flores Barat.
Alat-Alat Masa Neolitikum. Foto: Pinterest
Benda-benda lainnya pada zaman Neolitikum adalah kapak pacul, beliung,
tembikar atau periuk belanga, alat pemukul kulit kayu, dan berbagai
benda perhiasan. Adapun yang menjadi pendukungnya adalah bangsa
Austronesia untuk kapak persegi, bangsa Austo-Asia untuk kapak bahu, dan
bangsa Papua Melanesia untuk kapak lonjong.
Zaman batu dapat dikatakan berakhir sejak manusia menemukan logam dan
dapat mengolahnya menjadi alat yang berguna bagi kehidupan manusia.
Penemuan dan penggunaan logam sendiri mengawali fase kehidupan baru yang
penting dalam sejarah peradaban manusia, Zaman ini kemudian dikenal
dengan "zaman logam." Zaman logam sendiri terdiri dari tiga fase, yaitu
perunggu, tembaga, dan besi. Indonesia sendiri hanya mengalami fase
perunggu dan besi.
Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu itu antara lain: Kapak Corong & Nekara
Rujukan:
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I. Balai Pustaka: Jakarta
Brian M. Fagan. 1979. World Prehistory: A Brief Introduction. Routhledge
Posting Komentar untuk "Revolusi Neolitik"