Perang Saudara Kamboja (1967–1975)
Perang Saudara Kamboja adalah konflik yang terjadi antara tentara Partai
Komunis Kampuchea dan sekutu mereka Republik Demokratik Vietnam
(Vietnam Utara) dan Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan melawan
pemerintah Kamboja yang didukung ole Amerika Serikat dan Republik
Vietnam (Vietnam Selatan).
Pemerintahan di Kamboja diawali dengan tampilnya Norodom sihanouk yang
menjabat sebagai kepala negara tahun 1955. Ketika masa pemerintahanya
Norodom Sihanouk menghadapi oposisi dari kiri dan kanan. Golongan kiri
bergerak melalui partai Parcheachon yang bersifat moderat, sedangkan
oposisi kanan memiliki basis di Thailand dan Vietnam Selatan, salah
satunya adalah Khmer Serei (Khmer Bebas). Sihanouk berusaha keras untuk
membendung pergerakan golongan kiri namun tetap dibiarkan beroperasi.
Sihanouk merasa lebih terancam dengan golongan kanan Khmer Serei yang
mendapat dukungan asing.
Dalam mengambil kebijakan, Sihanouk cenderung bersikap netral misalnya
menerima bantuan dari negara yang ingin berhubungan dengan Kamboja
seperti Amerika, Perancis, Uni Soviet, Cina, dsb. Upayanya menjadi
blunder sewaktu Sihanouk mensabotase kenetralanya dengan kebijakan yang
gegabah, seperti misalnya ketika ia menolak bantuan militer Amerika 1963
lalu memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika serikat. Kebijakan
sihanouk yang lain adalah ketika ia menginvestasikan sejumlah uang dalam
upaya proses pembangunan, termasuk pendidikan dan kesehatan.
Rencana pemerintah tak mendapat dukungan dari rakyat karena banyaknya
korupsi dan kehidupan glamornya di Phnom Penh. Pada 1967 perubahan dalam
kebijakan beras pemerintah menyulut terjadinya sejumlah kerusuhan besar
di Samlaut yang terletak di barat laut. Kerusuhan ini mengarah pada
represif pemberontakan brutal. Sementara itu golongan kiri terkemuka
secara bertahap meninggalkan Ibukota menuju pedesaan guna melancarkan
pemberontakan melawan Sihanouk yang menyebut mereka sebagai Khmer Krahom
atau Khmer merah.
Pada tahun 1966, Sihanouk membuat keputusan yang justru merugikan
dirinya. Kesepakatanya dengan Republik Demokratik Vietnam memang
membantunya untuk menekan pergerakaan Khmer Merah akan tetapi hal
tersebut justru membuat Khmer Merah yang berhaluan komunis tidak
mempercayai lagi rekan-rekanya di Vietnam yang dianggap justru
mementingkan dirinya sendiri. Tahun 1970, Khmer merah berhasil menguasai
daerah yang luas di pedesaan.
Di tahun ini pula terjadi peristiwa penting dan dianggap sebagai
permulaan perang saudara di Kamboja. Lon Nol, yang tidak lain adalah
seorang perdana menteri melakukan kudeta terhadap kekuasaan Sihanouk
yang kala itu sedang berobat berada di luar negeri. Perdana Menteri
Letnan Jenderal Lon Nol dan Pangeran Sisowath Sirik Matak yang
pro-Amerika Serikat memimpin pemberontakan pada tanggal 18 Maret 1970
Pada tahun 1970, Lon Nol, menteri pertahanan melakukan kudeta terhadap Sihanouk karena:
- Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam selatan menduduki wilayah Kamboja dan hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Kamboja
- Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena bertindak tanpa memperhatikan undang-undang dan konstitusi
- Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih orang-orang yang akan duduk dalam kursi pemerintahan
- Sihanouk dituduh membiarkan terjadinya korupsi diantara keluarga-keluarga kerajaan
Kudeta
terhadap sihanouk oleh Lon Nol tersebut benar-benar membuat suhu
politik Kamboja memanas. Lon Nol mendapat dukunggan Amerika bertekad
untuk lebih tegas terhadap komunis Kamboja dan Vietnam. Amerika kemudian
melakukan pengeboman di pedesaan-pedesaan yang diyakini tempat komunis.
Pengeboman ini tentu saja menimbulkan banyak korban jiwa dan juga
menimbulkan kemarahann besar terhadap Pemerintah Kamboja.
Sihanouk yang ingin membalas dendam atas kudeta terhadap dirinya kemudian bergabung bersama Khieu Samphan, Hou Yuon, dan Hu Nim
(Tiga serangkai). Pada periode 1970-1975 merupakan masa yang getir bagi
kamboja karena adanya perang saudara. Sihanouk juga bergabung dengan
Khmer Merah meskipun tidak diketahui secara pasti dimana ia memainkan
peranya.
Kemunculan Pol Pot (1975-1978)
Pol Pot. Foto: Wikipedia |
Khmer merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan
Lon Nol pada 17 April 1975. Secercah harapan baru bagi Kamboja untuk
mencapai kedamaian dann mengakhiri perang saudara sangat nyata di
rasakan oleh penduduk Kamboja. Akan tetapi yang terjadi justru tidak
demikian kebijakan rezim Pol Pot pun juga tidak serta merta seperti
ekspektasi penduduk Kamboja. Kebijakan yang diambil Pol Pot adalah
melalui Revolusi agraria, yaitu membangun kamboja dengan memanfaatkan
pertanian.
Pada 13 Mei 1976 Pol Pot dilantik sebagai Perdana Menteri Kamboja dan
mulai menerapkan kebijakan mengarahkan negara ke arah sosialisme.
Pengeboman yang pernah dilakukan pihak AS telah mengakibatkan wilayah
pedesaan ditinggalkan dan kota-kota sesak disi rakyat (Populasi Phnom
Penh bertambah sekitar 1 juta jiwa dibandingkan dengan sebelum 1976).
Khmer merah kemudian memerintahkan seluruh penduduk lebih dari dua juta
penduduk meninggalkan kota menuju pedesaan dalam rangka "Revolusi
Agraria" untuk tinggal dan bekerja di pedesaan sebagai petani
dikarenakan kota-kota besar dianggap sebagai basis dari kaum aristokrat
dan penghambat revolusi. Periode ini merupakan periode yang cukup
tragis, akibat kebijakan yang lebih menekankan pertanian dalam skala
besar ini mengakibatkan banyak penduduk Kamboja yang meninggal akibat
kelaparan dan kekejaman rezim Pol Pot.
Rezim ini pada periode 1975-1978 ini juga dikenal dengan Rezim
Demokratik Kampuchea yang beranggapan bahwa Tuhan sudah mati dan partai
akan memberikan segalanya untuk penduduk. Penduduk hanya dikondisikan
untuk memikirkan partai. Mereka juga menberikan sugesti bahwa tidak ada
yang terjadi di masa lalu dan mereka menyebut rezimnya sebagai “Tahun
Nol.”
Para penduduk didera rasa ketakutan karena mereka selalu merasa
disekitarnya adalah musuh yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawa
mereka. Sejarah kelam kebrutalan rezim komunis yang berkuasa pada
1975-1979 itu belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan rakyat Kamboja
maupun dunia internasional.
Sampai sekarang masih terdapat bukti dari kebiadaban rezim Pol Pot
seperti di Kamp penyiksaan Tuol Sleng serta “ladang pembantaian”
(killing field) Choeung Ek. Choeung Ek adalah ‘ladang pembantaian’ yang
digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun, sebagai lokasi eksekusi
orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh. Ada sekitar 20.000
orang dieksekusi di situ.
Mereka yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol,
yakni pemerintah dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup.
Tanpa pandang bulu, mereka yang diketahui punya ide dan pandangan
politik berbeda dengan Pol Pot, ditangkap dan dieksekusi. Penangkapan
bahkan kerap terjadi pada orang yang hanya karena berpenampilan
intelektual, antara lain dapat berbahasa asing, punya telapak tangan
halus, berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh, petani, atau
pekerjaan-pekerjaan kasar lain.
Invasi Vietnam
Pasukan Vietnam Selatan memasuki Kamboja pada tahun 1970. Foto: U.S Army Center of Military History |
Invasi yang dilancarkan Viernam terhadap Kamboja juga sering disebut
Perang Vietnam-Kamboja, yaitu konflik bersenjata antara Republik
Sosialis Vietnam melawan Demokratik Kampuchea antara 1977-1979an. Invasi
Vietnam terhadap kamboja di latar belakangi oleh :
- 1. Sengketa wilayah antara Vietnam dan Kamboja. Demokratik Kampuchea di bawah rezim Pol Pot mengklaim bahwa wilayah Vietnam yang berada di garis perbatasan adalah miliknya dengan alasan historis yaitu ketika Kamboja masih sebagai Kerajaan Khmer.
- 2. Rezim khmer merah di Kampuchea juga menaruh rasa tidak percaya pada Vietnam karena meski Vietnam membantu mereka untuk berkuasa di Kamboja, mereka curiga kalau Vietnam berencana menjdikan Kampuchea sebagai negara bonekanya. Kedua hal tersebut lantas menjadikan alasan bagi Kampuchea untuk memerangi Vietnam
Konflik Uni Soviet dan China. Sebagai 2 negara yang sama-sama mengusung
ideologi komunis, bukan hal yang mengherankan jika Uni Soviet dan China
memiliki hubungan yang dekat satu sama lain. Namun semuanya berubah
setelah Joseph Stalin meninggal pada tahun 1953. Nikita Khruschev selaku
pemimpin baru Soviet mencoba menyingkirkan jejak-jejak pendahulunya
tersebut melalui proses yang disebut sebagai “de stalinisasi.“ Nama-nama
tempat dan lirik lagu kebangsaan Uni Soviet yang semula menyisipkan
nama Stalin diganti.
Pada pidato tertutup pada tangggal 25 Februari 1956, Khruschev
memaparkan keburukan-keburukan Stalin. Tindakan Khruschev tersebut
menuai rasa tidak suka dari Mao Zedong, pemimpin China yang menjadikan
Stalin sebagai panutanya. Mao juga menganggap Khruschev terlalu lembek
karena alih-alih menganggap negara kapitalis harus di perangi tetapi
anggapan Khruschev justru mengatakan bahwa negara komunis dan kapitalis
bisa hidup damai bersama-sama.
Buntutnya hubungan antara keduanya menjadi renggang. Vietnam yang
melihat situasi tersebut untuk melakukan invasi terhadap Kamboja karena
Uni Soviet dan China yang kala itu menjadi pendukung kamboja yang tengah
berkonflik.
Konflik Vietnam-Kamboja
April 1977, Kampuchea melakukan serangan ke Provinsi An Giang dan Chau
Doc di Vietnam. Vietnam bereaksi dan mempertanyakan tindakan terhadap
mereka dengan mengirimkan pasukanya ke Kampuchea dan menawarkan solusi
damai. Namun Kampuchea menolak menghentikan serangan. Serangan baru akan
dihentikan jika Vietnam mau menyerahkan wilayah yang menjadi sengketa
ke Kampuchea. Akan tetapi tawaran tersebut di tolak oleh Vietnam.
Pada bulan September 1977, pasukan Kampuchea kembali melancarkan serang
ke Vietnam, kali ini reaksi Vietnam lebih keras dari sebelumnya, Vietnam
mengerahkan 60.000 tentara ke perbatasan Vietnam-Kamboja. selain itu
Vietnam juga mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya untuk menggempur
Kampuchea. Karena lebih unggul dalam persenjataan dan pengalaman perang
akhirnya Vietnam berhasil memukul mundur kampuchea. Januari 1978,
Vietnam menarik mundur pasukanya dari Kampuchea, bersama pasukan Vietnam
ikut pula orang-orang Kamboja penentang rezim Khmer Merah ikut
menyeberang ke Vietnam.
Langkah Vietnam ini sebenarnya untuk mengelabuhi Kamboja karena mereka
akan mengerahkan pasukan dalam jumlah lebih besar,yaitu invasi untuk
menggulinggkan Pol Pot dan rezim Khmer Merah dari tampuk kekuasaan di
Kamboja. Menunggu waktu yang tepat untuk menginvasi Kamboja, Vietnam
membantu para penentang rezim Khmer Merah untuk memberontak. Kampuchea
bereaksi dengan membantai Etnis Vietnam dan orang-orang Kampuchea yang
dianggap bersimpati kepada Vietnam.
Pada 3 Desember 1978, Vietnam mengumumkan berdirinya Kampuchean National United Front of National Salvation
(KNUFNS) atau Front Nasional Bersatu Kampuchea untuk keselamatan
nasional dimana organisasi ini di dominasi oleh orang-orang Kamboja yang
melarikan diri ke Vietnam.
Bersama KNUFNS, Pemerintah Vietnam beralasan bahwa Kamboja harus di
invasi untuk membebaskan Kamboja dari kediktatoran Pol Pot dan Khmer
merah. Pada tanggal 22 Desember 1978, Vietnam benar-benar menginvasi
Kamboja dengan mengerahkan pasukan lebih dari 120.000 tentara yang
dilengkapi dengan meriam artileri dan kendaraan lapis baja. Pasukan
Kampuchea berusaha menghentikan pergerakan pasukan Vietnam namun yang
terjadi justru pasukan Kampuchea kehilangan separuh pasukanya hanya
dalam waktu 2 minggu.
Rakyat Kampuchea yang mengetahui bahwa mereka sedang di invasi nyatanya
justru bersikap pasif dan tidak ikut melawan Vietnam karena mereka sudah
terlanjur menderita akibat Pemerintahan Khmer merah. Pada Januari 1979,
Phnom Penh, Ibukota Kamboja berhasil dikuasai oleh Vietnam sekaligus
mengakhiri kekuasaan rezim Khmer merah. Sebuah pemerintahan kemudian
didirikan, yaitu Republik Rakyat Kamboja (RRK) yang berhubungan erat
dengan Vietnam sementara Pol Pot dan para pengikutnya berhasil melarikan
diri ke kawasan pelosok di Kampuchea.
Pasca Invasi Vietnam
Setelah rezim Khmer merah berhasil di gulingkan,Vietnam tidak lantas
meninggalkan Kamboja mereka justru menjadikan Kamboja sebagai daerah
bawahanya. Sekitar 380.000 petani lokal dijadikan sebagai pekerja paksa,
kebijakan-kebijakan yang hendak diambil oleh Republik Rakyat Kamboja
harus terlebih dahulu di setujui oleh pemerinttah Vietnam.
Rakyat Kamboja yang sebelumnya menganggap Vietnam sebagai penyelamat
akhirnya memandang Vietnam sebagai penjajah baru mereka. Khmer Merah
bukanlah satu-satunya yang sedang berusaha melawan pendudukan Vietnam,
selain mereka ada kelompok Khmer People’s National Liberation Front
(KNPLF) atau Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer, FUNCINPEC yang
didirikan Norodom Sihanouk dan FULRO yang beranggotakan orang-orang
kristen sepakat membentuk koalisi Demokratik Kampuchea sebagai
pemerintahan tandingan dari RRK.
Melihat keadaan negara seperti itu, munculah kelompok pimpinan Son Sann,
yaitu Front Pembebasan Nasional Rakyat Kampucea yang antikomunis.
Kelompok ini menentang Khmer Merah maupun Vietnam. Sementara itu,
Sihanouk juga mulai mencoba mengorganisasi kelompok Son Sann dan
kelompok Khieu Shamphan. Tujuan Sihanouk adalah membentuuk pemerintahan
koalisi, yaitu Coalition Government for Democratic Khmer (CGDK).
Coalition Government for Democratic Khmer (CGDK) terdiri atas:
- FUNCINPEC pimpinan Norodom Sihanouk.
- Khmer Merah pimpinan Khieu Samphan.
- Khmer Non-Komunis pimpinan Son Sann.
Pembentukan koalisi itu terjadi pada tanggal 17 Juni 1982. Formatur
pemerintahannya antara lain sebagai presiden adalah Pangeran Norodom
Shanouk, Wakil Presiden Khieu Shamphan dan Perdana Menteri Son San. PBB
mengakui CGDK sebagai pemerintahan yang sah di Kampuchea.
- Persoalan Kampuchea belum selesai sampai disini. Masih banyak rintangan yang harus dihadapi CGDK. Masalah-masalah itu sebagai berikut.
- Harus menghadapi pihak Heng Samrin – Hun Sen (rejim Phnom Penh)
- Hubungan Khmer Merah – Son Sann yang tidak harmonis
- Banyaknya pasukan Vietnam di Kampuchea
Di luar Kamboja, tindakan Vietnam mendapat reaksi keras dari
negara-negara lain.mereka mengutuk tindakan Vietnam serta melakukan
embargo ekonomi terhadapnya. China yang merupakan sekutu Khmer merah
bertindak lebih keras dengan menginvasi Vietnam. Pertengahan 1980an Uni
Soviet yang dilanda konflik internal akhirnya mengurangi bantuan
terhadap sekutu-sekutunya termasuk Vietnam. Pada akhirnya Vietnam
melunak dan berangsur-angsur menarik pasukanya dari Kamboja.
Rejim Phnom Penh kemudian membentuk pemerintahan sendiri di Phnom Penh.
Ketika terpilih menjadi perdana menteri Republik Rakyat Kampuchea sejak
tahun 1984, Hun Sen membawa Kampuchea ke arah lebih moderat. Contohnya
ia mau menghadiri pertemuan Jakarta Informal Meeting sebagai salah satu
usaha perdamaian dari kelompok-kelompok yang bertikai di Kampuchea.
Persoalan Kampuchea ternyata belum selesai sampai disini. Untuk
membentuk pemerintahan nasional masih diperlukan beberapa kali
pertemuan. Pertemuan-pertemuan tersebut, antara lain Konferensi Paris,
Jakarta Informal meeting (JIM) I, dan II di Bogor atas prakarsa Menteri
Luar Negeri Indonesia Ali Alatas serta perundingan Tokyo pada tanggal 4
Juni 1990. Tujuan pertemuan-pertemuan tersebut adalah mencapai
kesepakatan nasional Kampuchea (mendamaikan kelompok-kelompok yang
bertikai).
Dampak konflik Kamboja
Dampak politis yang mengemuka dari konfrontasi antara Khmer merah
melawan Vietnam ini tentunya adalah Perang Kamboja-Vietnam Konflik ini
juga mengemukakan bagaimana perpecahan yang terjadi antara
Tiongkok-Soviet telah merusak pergerakan komunis. Partai Komunis Vietnam
memihak dengan Uni Soviet, sementara Partai Komunis Kamboja tetap setia
dengan Republik Rakyat Cina.
Dampak Politis yang kedua yakni timbulnya konfrontasi antara China dan
Vietnam awalnya china mendukung Vietnam pada saat perang melawan Amerika
serikat.Namun setelah perang Vietnam berakhir kamboja yg komunis juga
diserbu oleh Vietnam. RRC yang mengetahui hal tersebut marah, karena RRC
mendukung rezim Khmer Merah PolPot. Vietnam kemudian mendapatkan
serangan dari RRC.
Selain hal itu Amerika yang juga memiliki dendam tersendiri dengan
Vietnam akhirnya juga ikut membantu Pol pot, walaupun pada awalnya
mereka melawan kelompok tersebut. Akan tetapi demi mencegah pengaruh
Rusia masuk lewat Vietnam akhirnya Amerika ikut mendukung rezim Polpot
tersebut.
Hal ini ditunjukkan dengan, Margaret Thatcher, Jimmy Carter, dan Ronald
Reagan tetap mendukung rezim tersebut walaupun sudah jatuh. Bahkan, Cina
menyumbangkan senjata untuk Polpot pada dekade 80-an. Karena inilah
genosida di Kamboja tetap terpendam selama hampir 20 tahun. Khmer Merah
pun tetap berdiri sampai 1992, diakibatkan terlalu banyak pihak yang
terlibat di dalamnya.
Jumlah korban jiwa dari perang saudara, konsolidasi kekuasaan Pol Pot
dan invasi Vietnam masih dipertentangkan. Sumber-sumber yang dapat
dipercaya dari pihak Barat menyebut angka 1,6 juta jiwa, sedangkan
sebuah sumber yang spesifik, seperti jumlah tiga juta korban jiwa antara
1975 dan 1979, diberikan oleh rezim Phnom Penh yang didukung Vietnam,
PRK. B
Amnesty International menyebut 1,4 juta; sedangkan Departemen Negara AS,
1,2 juta. Khieu Samphan dan Pol Pot sendiri, masing-masing menyebut 1
juta dan 800.000.
Posting Komentar untuk "Perang Saudara Kamboja (1967–1975)"