Kiprah Ali Sadikin Membangun Jakarta (1966-1977)
Letnan Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin
dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada 7 Juli 1926. Merupakan putra
dari pasangan Bangsawan Sunda, Raden Sadikin dan Itjih Soekarsih
Sadikin. Terkenal Sebagai Mantan Gubernur DKI Jakarta yang ke-9,
diduetkan dengan Raden H. Atje Wiriadinata, menjabat dua periode antara
tahun 1966-1977.
Sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta Raya, beliau mengawali karier
dibidang militer dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal KKO-AL ( Korps
Komando Angkatan Laut). Ali Sadikin juga pernah menjabat sebagai Menteri
Perhubungan Laut Indonesia dan Menteri Koordinator Kompartemen
Kemaritiman Indonesia pada Kabinet Trikora dan Trikora yang disempurnaan
pada masa pemerintahan Presiden Soekarno kurun waktu 13 November 1963 –
28 Maret 1966 dan 27 Agustus 1964 – 28 Maret 1966.
Kemudian sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (
PSSI ) antara tahun 1977-1981. Ali Sadikin memiliki istri yang beprofesi
sebagai dokter gigi yaitu Nani Sadikin. Setelah Nani Sadikin Wafat pada
1986. Ali Sadikin menikah lagi dengan wanita bernama Linda Mangan. Dari
perkawinannya dengan Nani Sadikin, Ali Sadikin dikaruniai lima orang
putra, antara lain Yasser Umarsyah Sadikin, Irmawan Hernadi Putra, Boy
Sadikin, Edi Trisnadi Putra, dan Benyamin Irwansyah Putra. Ali Sadikin
Meninggal pada 20 Mei 2008 di Singapura pada usia 80 tahun. Setelah
bertahun-tahun mengidap penyakit ginjal.
Karir
- Deputi Kepala Staf Angkatan Laut Kabinet Kerja (1959-1963)
- Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja (1963-1966)
- Menko Kemaritiman Kompartemen Kabinent Dwikora dan Dwikora yang disempurnakan (1964-1966)
- Gubernur DKI Jakarta (1966-1977)1
- Ketua Umum PSSI (1977-1981)
Penghargaan
- Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Megawati Soekarnoputri (2003)
Pengangkatan Sebagai Gubernur

sumber: netralnews
Ali Sadikin dilantik secara langsung oleh Presiden Soekarno menjadi
Gubernur DKI Jakarta pada Kamis, 28 April 1966 pukul 10.00 di Istana
Negara. Ali Sadikin mengenakan pakaian resmi sebagai Mayor Jendral KKO.
Hal ini menjadi catatan sejarah bahwa Ali Sadikin adalah gubernur
Jakarta yang pertama kali dilantik secara langsung oleh presiden di
Istana Negara. Pelantikan Ali Sadikin tersebut berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 82 Tahun 1966. Dalam keputusan tersebut, Ali Sadikin yang
juga merupakan anggota staf Waperdam Bidang Ekonomi, Keuangan, dan
Pembangunan dipandang cakap dan memenuhi syarat-syarat menjadi Gubernur
DKI Jakarta
Dalam buku Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H, ia
mengatakan bahwa masyarakat menyebut Bang Ali sebagai gubernur Jakarta
terbaik sepanjang sejarah. Dia yang dijadikan idola bagi oleh warga
mengharapkan gubernur-gubernur atau calon-calon gubernur Jakarta
selanjutnya. Kemudian ia memaparkan dalam bukunya bagaimana Presiden
Soekarno memilih Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta Raya pada waktu
itu.
"Ada, ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin itu orang yang keras. Dalam bahasa Belanda ada yang menyebutnya, een koppige vent, koppig. Saya kira dalam hal mengurus Kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala)," kata Sukarno.
Soekarno menambahkan, "Apalagi ndoro dan ndoro ayu sudah tahu, tidak
boleh membuang sampah semau-maunya di pinggir jalan, tapi ndoro dan
ndoro ayu toh menaruh sampah di pinggir jalan. Nah, itu perlu dihadapi
oleh orang yang sedikit keras, yang sedikit koppig."
Tapi, insya Allah, doe je best (berusahalah dengan
sebaik-baiknya), agar supaya engkau dalam memegang kegubernuran Jakarta
Raya ini benar-benar, juga sekian tahun lagi masih orang mengingat, dit heeft Ali Sadikin gedaan, inilah perbuatan Ali Sadikin. Inilah yang dilakukan oleh Ali Sadikin," kata Sukarno.
Nama besar Ali Sadikin tak lepas daripada peran Presiden Soekarno. Ali
Sadikin tidak pernah mendapat stigma apa pun sebelum Presiden Soekarno
menunjuk dan melantiknya pada 1966 silam. Satu-satunya yang dikenal dari
Guburnur DKI Jakarta ini adalah sifatnya yang koppig atau keras
kepala, itulah yang menyebabkan pula ia mendapat julukan dari
Pemerintahan Soeharto sebagai ‘pembangkang’ sebagai salah satu tokoh
dari petisi 50, dan pula dikenal oleh masyarakat Jakarta dengan sebutan
“bang ali” sebagai bentuk gambaran keakraban antara gubernur dengan
warganya ini.
Awal Pemerintahan
![]() |
Upacara Apel di Pimpin Ali Sadikin. Foto:keepo
|
Saat pertama kali memulai pemerintahannya di tahun 1966. Gubernur Ali
Sadikin dihadapkan pada beberapa keadaan yang cukup sulit : inflasi yang
mencapai 600% dan anggaran DKI Jakarta yang hanya tersedia sekitar 66
juta yang akan terbagi untuk menjalankan pemerintahan atas tiga wilayah
Jakarta pada saat itu : Jakarta Utara, Jakarta Tengah, dan Jakarta
Selatan. Dibawahnya terdapat 24.700 pegawai yang pada saat itu upahnya
dinilai cukup rendah oleh Ali Sadikin.
Dia memikirkan bagaimana cara mengatur kehidupan tiga juta enam puluh
ribu penduduk pada awal kepemimpinannya (1966-1977) yang akan terus
berkembang akibat arus urbanisasi yang meningkatkan jumlah penduduk
sekitar seratus ribu orang per tahun, padahal pemerintah kolonial Hindia
Belanda pada waktu itu hanya menyiapkan Batavia (sekarang Jakarta)
hanya untuk kapasitas enam ratus ribu sampai delapan ratus ribu jiwa.
Bukan hanya masalah penduduk secara makro yang ia lihat. Lebih spesifik Ali Sadikin berpikir bagaimana ia bisa mengatur bayi yang lahir, sampai orang yang meninggal; dari makan, tempat tinggal, pekerjaan, sampai pemakaman mereka.
Bukan hanya masalah penduduk secara makro yang ia lihat. Lebih spesifik Ali Sadikin berpikir bagaimana ia bisa mengatur bayi yang lahir, sampai orang yang meninggal; dari makan, tempat tinggal, pekerjaan, sampai pemakaman mereka.
Masyarakat ibukota pada masa awal pemerintahan Ali Sadikin yang pula
terimbas dari krisis ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Mendapatkan imbas pada semua bidang, antara lain: krisis lapangan
pekerjaan, krisis sarana pendidikan, krisis infrastruktur, krisis
angkutan, krisis jaringan telepon, krisis usaha, dan pelbagai krisis
lainnya.
Hal tersebut harus dihadapi dengan dana yang bisa dibilang sangat kurang untuk membiayai pembangunan sebuah ibukota Republik Indonesia, yang diharapkan sebagai pusat kebudayaan bangsa ini.
Hal tersebut harus dihadapi dengan dana yang bisa dibilang sangat kurang untuk membiayai pembangunan sebuah ibukota Republik Indonesia, yang diharapkan sebagai pusat kebudayaan bangsa ini.
Pelaksanaan Pemerintahan Dan Strategi Mencari Uang
Dalam melaksanakan pembangunan Jakarta. Ali Sadikin memproyeksikan
perubahan anggaran belanja daerah pada tahun berikutnya menjadi Rp266
juta dari tahun semula yaitu Rp66 juta. Anggaan tersebut akan digunakan
untuk pembangunan, revitalisasi, serta pemeliharaan infrastrukut yang
dinilai olehhnya “semrawut.”
Dalam menentukan anggaran itu, Pemerintah Daerah berdasarkan pada jumlah pendapatan yang diterima, serta berlandaskan pada Penetepan Presiden No.26 Tahun 1965 yang menetapkan anggaran belanda daerah disusun secara berimbbang(balanced budget). Dalam menghadapi tantangan demikian, Ali Sadikin menyadari bahwa diperlurkannya sumber pendanaan yang harus digali selain memanfaatkan penerimaan pajak, retribusi dan pendapatan daerah yang bersumber dari subsidi pemerintah pusat. Nilainya dirasa belum mencukupi untuk memulai sebuah pembangunan yang ia rancang sebagai “metropolitan.”
Dalam menentukan anggaran itu, Pemerintah Daerah berdasarkan pada jumlah pendapatan yang diterima, serta berlandaskan pada Penetepan Presiden No.26 Tahun 1965 yang menetapkan anggaran belanda daerah disusun secara berimbbang(balanced budget). Dalam menghadapi tantangan demikian, Ali Sadikin menyadari bahwa diperlurkannya sumber pendanaan yang harus digali selain memanfaatkan penerimaan pajak, retribusi dan pendapatan daerah yang bersumber dari subsidi pemerintah pusat. Nilainya dirasa belum mencukupi untuk memulai sebuah pembangunan yang ia rancang sebagai “metropolitan.”
Sebelum mengambil kebijakan bagaimana cara mencari pendanaan yang harus
dibutuhkan. Terlebih dahulu Ali Sadikin mereformasi sistem keuangan
daerah dengan penataan sistem perpajakan, administrasi dimodernisasi
dengan komputerisasi, dan soal kedisiplinan pegawai disosialisasikan dan
diterapkan secara mantap. Menurut Ali Sadikin dalam Gita Jaya (1977),
cara-cara untuk meningkatkan pendapatan daerah ditempuh dengan jalan
intensifikasi penggalian sumber-sumber baru sesuai dengan hak-hak
otonomi daerah.
Ali Sadikin mempelajari dengan seksama ketentuan yang berlaku untuk
memobilisir dana-dana yang ada di daerah sesuai dengan kewenangan yang
ada. Pada hakekatnya, sumber pendapatan bagi daerah dapat dibagi-bagi
menjadi dua kelompok penerimaan, yaitu penerimaan-penerimaan yang
berasal dari pemerintah pusat dan penerimaan pemerintah daerah sendiri.
Penerimaan dari pusat meliputi subsidi penerimaan keuangan antara pusat dan daerah; iuran pembangunan daerah (IPEDA); bantuan-batuan program pembangunan (Proyek Inpres); penerimaan-penerimaan lain dari negara. Sedangkan penerimaan dari daerah sendiri meliputi pajak daerah,yaitu pajak-pajak yang berdasarkan wewenang yang diberikan oleh perundang-undangan yang berlaku diadakan dan dipungut oleh pemerintah daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1957 tanggal 22 Mei 1957, tentang peraturan umum pajak daerah
Penerimaan dari pusat meliputi subsidi penerimaan keuangan antara pusat dan daerah; iuran pembangunan daerah (IPEDA); bantuan-batuan program pembangunan (Proyek Inpres); penerimaan-penerimaan lain dari negara. Sedangkan penerimaan dari daerah sendiri meliputi pajak daerah,yaitu pajak-pajak yang berdasarkan wewenang yang diberikan oleh perundang-undangan yang berlaku diadakan dan dipungut oleh pemerintah daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1957 tanggal 22 Mei 1957, tentang peraturan umum pajak daerah
Pemerntah Jakarta pada saat itu pontang panting mencari uang. Penerimaan
pajak tidak berjalan dengan semestinya disebabkan oleh pengemplangan
pajak oleh wajib pajak, serta aparatur perpajakan yang kinerjanya cukup
buruk. Pemerintah Jakarta pada saat itu mengedepankan kosep enterprenerurship yang menganalogikan sebagai sebuah perusahaan.
Pemegang saham adalah rakyat, direksinya adalah gubernur, dan pengawas serta komisarisnya adalah DPRD, jadi jika orang-orang itu tidak membayarkan pajak maka: “ No tax, no service. Because service is money, money is tax!”, kata Ali Sadikin pada waktu itu. Ali Sadikin pun beranggapan sebagai eksekutif harus berdampingan untuk bekerja bersama dengan eksekutif. Untuk itu pada masa pemerintahannya ia berusaha menghindari konflik-konflik dengan DPRD dan menjalin relasi yang cukup baik.
Pemegang saham adalah rakyat, direksinya adalah gubernur, dan pengawas serta komisarisnya adalah DPRD, jadi jika orang-orang itu tidak membayarkan pajak maka: “ No tax, no service. Because service is money, money is tax!”, kata Ali Sadikin pada waktu itu. Ali Sadikin pun beranggapan sebagai eksekutif harus berdampingan untuk bekerja bersama dengan eksekutif. Untuk itu pada masa pemerintahannya ia berusaha menghindari konflik-konflik dengan DPRD dan menjalin relasi yang cukup baik.
Menurut Ali Sadikin dalam Gita Jaya (1977), usaha penataan kembali
perangkat pemerintah kota tersebut ditempuh melalui berbagai tahap yang
terdiri dari:
- Pertama, memperbaiki iklim hubungan kerja antara perangkat eksekutif dengan DPRD. Langkah ini perlu untuk menjamin mewujudkan tanggung jawab bersama antara unsur eksekutif dan DPRD agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilaksanakan.
- Kedua, perombakan susunan organisasi pemerintahan daerah melalui langkah-langkah penataan kembali susunan perangkat pemerintahan daerah. Dalam hal ini termasuk langkahlangkah ke arah peningkatan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan pelayanan masyatrakat yang dilakukan di luar perangkat pemerintah daerah.
- Ketiga, penggarapan pemerintah daerah. Bagian ini sangat penting, karena seringnya perubahan, pemecahan dan penyatuan berbagai departemen di tingkat pusat telah membawa pengaruh terhadap pembagian tugas di antara dinas-dinas daerah maupun instasi vertikal dan perangkat pemerintah lainnya yang cakupan wilayah kerjanya di daerah.
- Keempat, memberikan kesatuan arah bagi perangkat pemerintah daerah disamping usaha peningkatan kemampuan, juga disusun kerangka kerja yang terencana berdasarkan program. Kelima, memberikan perhatian jaminan atas kepastian hukum para pegawainya, jenjang karier, jenjang kepangkatan, sistem prestasi dan norma-norma kepegawaian yang baik lainnya, perlu ditegakkan. Hal ini penting untuk memungkinkan para pegawai dapat bekerja tenang dan penuh tanggung jawab di bidang pekerjaannya.
Dalam menanggulangi perpajakan di Jakarta. Pemerintah pada saat itu
mencoba untuk memperbaiki sistem perpajakan dengan merapihkan data wajib
pajak dengan meminta informasi dari instansi Polantas, Bea Cukai, dan
Departemen Keuangan RI.
Semua itu dilakukan untuk menindak para pengeplang pajak kendaraan, bea impor, dan pajak penghasilan pada saat itu, serta bersama Departemen Keuangan untuk menyusun penyesuaian tarif pajak dan retribusi, kemudian kerja sama dalam sosialisasi perpajakan di wilayah DKI Jakarta Raya.
Semua itu dilakukan untuk menindak para pengeplang pajak kendaraan, bea impor, dan pajak penghasilan pada saat itu, serta bersama Departemen Keuangan untuk menyusun penyesuaian tarif pajak dan retribusi, kemudian kerja sama dalam sosialisasi perpajakan di wilayah DKI Jakarta Raya.
Dalam usahan mereformasi dan revitalisasi aparatur pemerintahan, dalam
upaya pelaksanaan dekonsentrasi pemungutan pajak kepada unit-unit
pelaksana di setiap wilayah, yang telah dimulai pada tahun 1964.
Diadakan pelatihan dan pembinaan aparatur pemerintahan melalui program
pendidikan dan latihan kepegawaian yang ditunjang oleh fasilitas dari
Departemen Keuangan.
Hasil dari berbagai kerjasama yang dilakukan, baik dengan Departemen
Keuangan ataupun Polantas. Membawa dampak yang cukup baik dalam
realisasi penerimaan pajak tahun-tahun berikutnya pada kurun waktu
1966-1974. Hal tersebut dapat terjadi akibat dari penurunan jumlah
pengemplang pajak, serta pungutan liar yang biasa terjadi di instansi
perpajakan daerah, dan yang terpenting adalah kepercayaan dari
masyarakat sebagai wajib pajak yang merasakankan manfaat dari pajak yang
mereka bayarkan.
Pemerintah menjadikan pajak sebagai komponen utama dalam rehabilitasi
pembangunan fisik berupa : jalan raya, sekolah , puskesmas, dan
fasilitas budaya. Hal tersebut juga menciptakan iklim usaha yang bagus
yang menjadi sumber penerimaan pajak. Jumlah bioskop meningkat dari 33
buah menjadi 125 buah pada awal tahun 1977. Pertambahan ini disebabakan
oleh rehabilitasi bangunan-bangunan yang sebelumnya ada dan
pembangunan-pembangunan baru, serta munculnya tempat-tempat hiburan,
yang pula ditambah dengan peningkatan jumlah impor kendaraan bermotor
yang menjadi pertambahan sumber pajak bagi daerah.
Namun, Ali Sadikin menilai bahwa penerimaan pendapatan daerah yang
bersumber dari pajak dan retribusi tidaklah cukup. Cukup dalam arti kata
mengembangkan kota Jakarta yang terkenal dengan sebutan “kampung besar”
ini menjadi sebuah kota "metropolis." Masih banyak fasilitas umum
(kesehatan dan pendidikan) yang belum dapat dibangun menyeluruh di
seluruh wilayah ibukota negara ini. Untuk membangun jalan-jalan yang
mulus, membangun sekolah-sekolah atau sekadar memperbaikinya, serta
pembangunan sarana-sarana kesehatan berupa puskesmas-puskesmas untuk
ditingkat kecamatan dan kelurahan.
Bahkan menurut Ali Sadikin, pembangunan harus dilakukan untuk pemenuhan
kebutuhan rohani masyarakat Jakarta, salah satunya adalah pembangunan
saran penunjang kebudayaan dan hiburan. Selain itu pemuda harus pula
dipikirkan dengan pembangunan fasilitas yang dapat bermanfaat bagi
pemuda, diantaranya pelajar dan mahasiswa.
Untuk dapat mewujudkan itu semua, Ali Sadikin sadar bahwa uang yang
dibutuhkan tidaklah sedikit, dengan hanya mengandalkan anggaran daerah
yang sekarang tidaklah cukup. Kemudian Ali Sadikin mengambil kebijakan
menggali sumber pendapatan untuk pembangunan kota Jakarta dari sektor
perjudian. Ali Sadikin melegalkan perjudian karena hasil-hasil dari
pajak judi akan dimanfaatkan sebagai salah satu pendapatan daerah. Hal
itu dia lakukan atas hasil pengamatannya bahwa dari pada membiarkan
maraknya judi di Jakarta dan tidak menghasilkan apa-apa untuk Jakarta,
lebih baik perjudian dilegalkan dan dikenakan pajak yang tinggi.
Selain untuk meminimalisir penyimpangan yang dilakukan sejumlah orang
untuk melindung perjudian ini, lebih baik pemerintah daerah sendiri yang
memberikan perlindungan dengan bentuk legalisasi. Dengan demikian
pemerintah mendapatkan manfaat berupa anggaran yang cukup besar dari
pajak perjudian ini, sekitar 40 miiliar rupiah dalam satu tahun.
Dalam mengambil kebijaknnya ini, Ali Sadikin tidak pernah meminta
pengarahan dari atasannya, termasuk pada waktu memutuskan untuk
melegalisasi perjudian di seluruh wilayah Jakarta, Ali Sadikin mengambil
kebijakan sendiri (Prayitno, Harja & Timu, 2004). Menurut Ali
Sadikin dalam Irawan dkk (2008), untuk menghindari penyimpangan terhadap
kebijakan tersebut, Ali Sadikin melakukan beberapa hal, antara lain
dengan membentuk tim pengawas yang mengawasi aspek sosial-politik dan
retribusi yang diatur lewat SK Gubernur DKI Jakarta.
Agar kebijakan ini dapat berjalan, maka hal-hal lain yang dilakukan
adalah transparansi menyangkut seluruh penerimaan daerah dari pajak judi
yang dimasukkan dalam kelompok penerimaan khusus dalam APBD. Dalam hal
ini, para anggota DPRD bisa mengontrol ke mana dana hasil perjudian itu
dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan yang meliputi bidang
pendidikan, sosial mental dan kerohanian, serta infrastruktur.
Selain melegalisasikan perjudian. Salah satu kebijakan Ali Sadikin dalam
mencari pemasukan yang besar untuk anggaran pemerintah daerah adalah
dengan membangun Komplek Lokalisasi Kramat Tunggak. Kramat Tunggak ini
terletak di jalan Kramat Jaya RW 019, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan
Koja, Kotamadya Jakarta Utara.
Areal tersebut tepatnya menempati lahan seluas 109.435 m2 Akhirnya tempat tersebut ditetapkan sebagai lokalisasi melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 tanggal 27 April 1970,
tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila serta
Pembidangan dan Tanggung Jawab, yang ditandatangani oleh Ali Sadikin.
Sehingga tempat ini menjadi lokalisasi tempat prostitusi yang sebelumnya
tersebar di beberapa tempat, seperti Bina Ria dan Volker, yaitu deretan
rel kereta api di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Pada awal pembukaan,
hanya terdapat 300 orang PSK dan 76 mucikari.
Sebelum mengambil kebijakan membangun Komplek Lokalisasi Kramat Tunggak.
Sudah beberapa kali Ali Sadikin mengadakan peninjauan mendadak ke
daerah-daerah “pasaran wanita”, ke daerah “pelacuran” yang paling ramai
di sepanjang Kramat Raya dan Senen untuk mengumpulkan data yang benar.
Pada waktu itu, pemberantasan pelacuran memang masalah yang sangat
sulit. Pekerjaan itu sudah menjadi mata pencaharian mereka. Tapi
Pemerintah Jakarta tidak dapat membenarkan atau mendiamkan perbuatan
ini. Selain melokalisasi pelacuran di Kramat Tunggak, Ali Sadikin juga
membuka tempat hiburan malam .
Ali Sadikin mengatakan upaya itu sebagai bagian dari melayani
masyarakat, serta pencegahan menyebar luasnya penyakit HIV/Aids karena
praktek pelacuran yang dilakukan diberbagai wilayah di Jakarta. Karena
itu, Ali sadikin berani membuka judi, steambath, dan klub-klub, terutama
untuk orang asing yang habis bekerja tidak langsung pulang, melainkan
pergi ke klub untuk minum kopi setelah itu baru pulang. Pembukaan
klub-klub itu dilakukan untuk melayani masyarakat kelompok ini.
Dalam usahanya ini. Ali Sadikin dapat memporeleh pundi-pundi uang untuk
mengisi kas anggaran pemerintah Jakarta. Tercatat pendapatan kotor
pemerintah Jakarta telah meningkat dengan pesat, dari Rp8,565 milyard
pada tahun 1966 menjadi Rp555,8 miliar pada tahun 1973. Dengan kebijakan
ini pula Ali Sadikin dapat meninggalkan kas bersih Jakarta sejumlah
Rp89 miliar pada akhir masa jabatannya pada tahun 1977 yang pada tahun
pertama menjabat 1966 hanya mempunya kas bersih sejumlah Rp66 juta.
Hasil Pembangunan
Hasil dari jerip payah pemerintahan Jakarta dibawah pimpinan Ali Sadikin
dalam mengumpulkan uang yang nilainya cukup luar biasa dipergunakan
untuk membangun infrastruktur dan pelayanan sosial masyarakat Jakarta.
Pendidikan
Dalam meninkatkan taraf hidup dan peradaban masyarakat kota. Pemeritah
Jakarta mampu menciptakan keseimbangan penyediaan dan pelayanan
kebutuhan sarana pendidikan baik untuk SD, SLP maupun SLA yang menjadi
salah satu permasalahan yang ia sebut “semrawut” pada masa awal
pemerintahannya. Ali Sadikin membangun lebih dari seribu gedung sekolah,
serta memperbaiki seribu gedung sekolah lainnya yang telah ada dari
jenjang SD sampai SLA, serta pembangunan sekolah-sekolah islam
(madrasah) di wilayah-wilayah Jakata.
Salah satunya dilahan yang pernah menjadi komplek pemakaman arab di wilayah Tanah Abang. Ali Sadikin merelokasi pemakaman dan menjadikan lahannya untuk melebarkan pusat bisnis tanah abang, serta beberapa bagian untuk dibangun madrasah. Kemudian kebijakan dalam hal memajukan pendidikan di Jakarta adalah kebijakan beasiswa pendidikan kepada setiap anak yang lahir dan tinggal di Jakarta.
Salah satunya dilahan yang pernah menjadi komplek pemakaman arab di wilayah Tanah Abang. Ali Sadikin merelokasi pemakaman dan menjadikan lahannya untuk melebarkan pusat bisnis tanah abang, serta beberapa bagian untuk dibangun madrasah. Kemudian kebijakan dalam hal memajukan pendidikan di Jakarta adalah kebijakan beasiswa pendidikan kepada setiap anak yang lahir dan tinggal di Jakarta.
Kesehatan
Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, selain pembangunan
puskesmas-puskemas di setiap kecamatan pada waktu itu. Pemerintah
dihadapkan dengan beberapa permasalahan diantaranya meliputi kurangnya
pasokan darah, kenakalan remaja seperti pecandu narkoba, adanya penyakit
menular, serta masalah hygiene perusahaan dan pencemaran di Jakarta. Untuk mengatasi masalah kekurangan darah.
Ali Sadikin menempuh kebijakan antara lain dengan: mengukuhkan berdirinya Perhimpunan Donor Darah Jakarta dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus meningkatkan jumlah donor darah sesuai dengan SK gubernur KDKI Jakarta tanggal 12 Juni 1975 No. D.III-3567/a/8/1975 tentang pembentukan perkumpulan donor darah di Jakarta.
Ali Sadikin menempuh kebijakan antara lain dengan: mengukuhkan berdirinya Perhimpunan Donor Darah Jakarta dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus meningkatkan jumlah donor darah sesuai dengan SK gubernur KDKI Jakarta tanggal 12 Juni 1975 No. D.III-3567/a/8/1975 tentang pembentukan perkumpulan donor darah di Jakarta.
Untuk menanggulangi masalah korban narkotika, pemerintah DKI Jakarta
mengambil langkah-langkah antara lain dengan melakukan pencegahan
melalui bimbingan individual dan kelompok, khususnya bimbingan keluarga
dan kelompok remaja melalui lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi
masyarakat yang telah ada. Selain itu, pemerintah mengadakan usaha
rehabilitasi korban narkotika di RS. Fatmawati Cilandak. Pada tahun
1973, Ali Sadikin memprakarsai pendirian wisma “Pamardhi Siwi” sebagai
sarana perawatan/rehabilitasi korban narkotika atau anak-anak nakal,
baik dari hasil razia maupun titipan dari orang tua para korban
narkotika.
Adapun kegiatan pemberantasan penyakit menular dilakukan dengan menurunkan tingkat penularan melalui rehydrations center dengan
menambah jumlah rumah sakit yang akan merawat penderita. Disamping itu,
pemerintah meningkatkan pendidikan dan penyuluhan kesehatan pada
masyarakat serta peningkatan kesehatan lingkungan.
Untuk mengatasi masalah hygiene (kesehatan) perusahaan dan pencemaran di Jakarta, telah diadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga riset nasional dengan mengumpulkan data-data perusahaan dan klasifikasinya, jumlah kendaraan yang mencemari udara serta pengambilan sampel-sampel air untuk dilakukan pengujian.
Untuk mengatasi masalah hygiene (kesehatan) perusahaan dan pencemaran di Jakarta, telah diadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga riset nasional dengan mengumpulkan data-data perusahaan dan klasifikasinya, jumlah kendaraan yang mencemari udara serta pengambilan sampel-sampel air untuk dilakukan pengujian.
Masyarakat, Pemuda, Dan Budaya
Selain infrastruktur dasar seperti sekolah, jalan raya, puskesmas,
pusat-pusat bisnis dan perkantoran. Ali Sadikin selama pemerintahannya
telah membangun berbagai fasilitas untuk rekreasi dan hiburan rohani
masyarakat kota Jakarta, diantaranya :
- Taman Ismail Marzuki
- Planetarium Jakarta
- Taman Impian Jaya Ancol
- Kebun Binatang Ragunan
- Taman Ria Monas
- Taman Ria Remaja
- Kota Satelit Pluit di Jakarta Utara
- Pusat Pelestarian Budaya Betawi di kawasan Condet
Selain pembangunan rekreasi dan hiburan. Ali Sadikin membangun fasilitas
yang diperuntukan untuk pemuda, pelajar, dan mahasiswa di Jakarta,
antara lain : Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brodjonegoro di Jalan H.R
Rasuna Said sebagai tempat perkumpulan para mahasiswa di Jakara,
Gelanggang Remaja Bulungan, Gedung Perfilman Usmar Islamail di Kuningan
sebagai tempat yang diproyeksikan sebagai Hollywoodnya Jakarta. Kemudian
pembangunan Balai Rakyat yang tersedia di setiap kecamatan di Jakarta
yang diperuntukan untuk hajatan, olahraga, dan macam kegiatan
masyarakat.
Selain itu beliau juga menggagas pembangunan beberapa museum seperti
Museum Fatahilla, Museum Tekstil, Museum Keramik, dan Museum Wayang.
Beliau juga berperan penting dalam pengembalian fungsi gedung-gedung
bersejarah, seperti Gedung Juang 1945 dan Gedung Sumpah Pemuda. Kemudian
bersama Tien Soeharto menggagas pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII) .
Ali Sadikin tak lupa akan budaya betawi sebagai ikon dari ibukota.
Beliau mengangkat kembali budaya betawi seperti ondel-ondel, lenong, dan
kerak telor secara luas ke dalam sebuah pesta rakyat yang ia
selenggarakan setiap tahun dalam memperingati hari jadi kota Jakarta
pada 21 Juni atau yang kini dikenal dengan Pekan Raya Jakarta (Jakarta
Fair). Ali Sadikin juga mengadakan kompetisi Abang dan None Jakarta
untuk mencari duta budaya Jakarta dalam mempromosikan, serta memberikan
gambaran akan budaya betawi Jakarta
Sebelum berangkat dinas gubernur. Ali Sadikin membiasakan membaca setumpuk koran setelah sembahyang subuh atau setelah mandi. Tak kurang dari lima belas penerbit koran yang ia baca setiap hari. Selain membaca koran, Ali Sadikin menyempatkan membaca surat-surat yang tertuju kepadanya, baik yang langsung datang ke rumah, atau surat dari kantor dinasnya. Surat-surat tersebut berisi kritik, sanjungan, dan tak jarang berupa laporan dari masyarakat Jakarta.
Ali Sadikin, setiap istirahat siang selalu menyempatkan diri untuk makan
siang di rumah bersama dengan Nani Sadikin dengan panggilan
kesehariannya kepada istrinya, Nan. Dan lima orang putranya : Boy
Bernanady, Eddy Trisnadi, Iwan Hernadi, Benyamin Irwansyah, Istrinya
merupakan seorang dokter gigi, namun rutinitasnya berubah dan bisa
dibilang sudah tidak dapat menjalankan profesinya sebagai dokter gigi.
Karena kesibukan sebagai istri gubernur.
Ali Sadikin kerap kali bersikap keras kepada anaknya. Ia menegaskan
kepada anak-anaknya bahwa gedung Balai Kota adalah kantornya. Dan hal ia
tegaskan bahwa anak-anaknya tidak boleh datang atau keluyuran
dikantornya, selain karna faktor yang bersifat mendesak.
Ali Sadikin kerap kali dikunjungi oleh mertuanya. Ali Sadikin merasa
sejuk akan kedatangan mereka berdua, meskipun terkadang lelah selepas
pulang dari kantor, kedatangan mereka yang justru menghilangkan
keruwetan yang bertumpuk dikepalanya. Disamping itu Ali Sadikin
mempunyai anjing pudel, namanya Skoti dan Viki, kemudian beliau
mempunyai pula anjing herder bernama Berando.
Kritik Kebijakan Kontroversi dan Tanggapan Ali Sadikin
Pada saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ada beberapa kebijakan
yang dinilai masyarakat secara luar sebagai sebuah kebijakan yang
kontroversial, diantaranya adalah legalisasi perjudian dan pembangunan
komplek lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak. Hal tersebut dinilai aneh
oleh sebagian masyarakat dan khususnya para pemuka agama yang mengecam
kebijakan Ali Sadikin yang dinilai membangun Jakarta dengan uang yang
haram.
Menanggapi hal tersebut, kepada wartawan Tempo, Setiyardi. Ali Sadikin
memberikan respon atas kritikan yang ditujukan kepadanya atas kebijakan
yang diambil semasa menjadi gubernur DKI Jakarta. Dimuat dalam harian
Tempo, Demi Judi Aku Rela Masuk Neraka tertanggal 25 Juni 2005.
Ali Sadikin menyatakan tak ambil pusing atas pernyataan para ulama yang
mengecamnya tersebut. Ali Sadikin bahkan berkata kepada para ulama atau
orang lain yang menyatakan tindakannya ini adalah hasil dari uang haram
untuk naik helikopter dan tidak melintasi jalan di Jakarta, karena semua
jalan di Jakarta menurutnya dibangun atas hasil uang haram tersebut.
Ali Sadikin menapikan kritik terhadapnya yang mengatasnamakan islam itu
adalah sebuah kemunafikan. Jakarta butuh uang banyak untuk membangun
infrastruktur kala itu. Bahkan ia bertanya apakah para ulama bisa
menyediakan uang miliaran untuk pembangunan kota Jakarta? Dia berkata
bahwa ia rela masuk neraka demi judi, asal kebutuhan masyarakat dapat
terpenuhi. Dia bersikap realistis bahwa pembangunan Jakata harus
berjalan, banyak gedung-gedung sekolah, jalan, dan puskesmas yang harus
dibangun. Ali Sadikin menyebut orang-orang yang mengkritiknya, yang ia
sebut mengaku-ngaku islam tersebut membuatnya jengkel dan sok berlaga
seperti malaikat, serta berpikir seperti abad ke 15.
Daftar Pustaka:
Buku :
K.H Ramadhan. 1995. Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
____________. 1995. Pers Bertanya Bang Ali Menjawab. Jakarta : Pustaka Jaya
____________. 2012. Ali Sadikin; Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi. Jakarta : Ufuk Press
E-Print Koran Tempo :
Setiyardi. Ali Sadikin : Demi Judi Saya Rela Masuk Neraka. Tempo No. 04/XXXIV/21 - 27 Maret 2005
Sumber Online :
Tokohindonesia.com. Paling Berjasa Membangun Jakarta.
Merdeka.com. Profil Ali Sadikin. Mei 2008
news.okezone.com. Kramat Tunggak, Lokalisasi Tersohor Se Asia Tenggara. 25 April 2012
Video :
Melawan Lupa, Jejak Langkah Bang Ali (Metro.tv)
Memoar Eps Ali Sadikin (Kompas.tv)
Buku :
K.H Ramadhan. 1995. Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
____________. 1995. Pers Bertanya Bang Ali Menjawab. Jakarta : Pustaka Jaya
____________. 2012. Ali Sadikin; Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi. Jakarta : Ufuk Press
E-Print Koran Tempo :
Setiyardi. Ali Sadikin : Demi Judi Saya Rela Masuk Neraka. Tempo No. 04/XXXIV/21 - 27 Maret 2005
Sumber Online :
Tokohindonesia.com. Paling Berjasa Membangun Jakarta.
Merdeka.com. Profil Ali Sadikin. Mei 2008
news.okezone.com. Kramat Tunggak, Lokalisasi Tersohor Se Asia Tenggara. 25 April 2012
Video :
Melawan Lupa, Jejak Langkah Bang Ali (Metro.tv)
Memoar Eps Ali Sadikin (Kompas.tv)
Posting Komentar untuk "Kiprah Ali Sadikin Membangun Jakarta (1966-1977)"