Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kiprah Ali Sadikin Membangun Jakarta (1966-1977)

 


Profil Ali Sadikin

Letnan Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada 7 Juli 1926. Merupakan putra dari pasangan Bangsawan Sunda, Raden Sadikin dan Itjih Soekarsih Sadikin. Terkenal Sebagai Mantan Gubernur DKI Jakarta yang ke-9, diduetkan dengan Raden H. Atje Wiriadinata, menjabat dua periode antara tahun 1966-1977.

Sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta Raya, beliau mengawali karier dibidang militer dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal KKO-AL ( Korps Komando Angkatan Laut). Ali Sadikin juga pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan Laut Indonesia dan Menteri Koordinator Kompartemen Kemaritiman Indonesia pada Kabinet Trikora dan Trikora yang disempurnaan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno kurun waktu 13 November 1963 – 28 Maret 1966 dan 27 Agustus 1964 – 28 Maret 1966.

Kemudian sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia ( PSSI ) antara tahun 1977-1981. Ali Sadikin memiliki istri yang beprofesi sebagai dokter gigi yaitu Nani Sadikin. Setelah Nani Sadikin Wafat pada 1986. Ali Sadikin menikah lagi dengan wanita bernama Linda Mangan. Dari perkawinannya dengan Nani Sadikin, Ali Sadikin dikaruniai lima orang putra, antara lain Yasser Umarsyah Sadikin, Irmawan Hernadi Putra, Boy Sadikin, Edi Trisnadi Putra, dan  Benyamin Irwansyah Putra. Ali Sadikin Meninggal pada 20 Mei 2008 di Singapura pada usia 80 tahun.  Setelah bertahun-tahun mengidap penyakit ginjal.

Karir
  • Deputi Kepala Staf Angkatan Laut Kabinet Kerja  (1959-1963)
  • Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja (1963-1966)
  • Menko Kemaritiman Kompartemen Kabinent Dwikora dan Dwikora yang disempurnakan (1964-1966)
  • Gubernur DKI Jakarta (1966-1977)1
  • Ketua Umum PSSI (1977-1981)

Penghargaan
  • Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Megawati Soekarnoputri (2003)

Pengangkatan Sebagai Gubernur
Progres Pengusulan Gelar Kepahlawanan Nyaris Rampung, Jakarta Bakal Punya  Jalan Ali Sadikin | NNC Netralnews 
sumber: netralnews
Ali Sadikin dilantik secara langsung oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur DKI Jakarta pada Kamis, 28 April 1966 pukul 10.00 di Istana Negara. Ali Sadikin mengenakan pakaian resmi sebagai Mayor Jendral KKO. Hal ini menjadi catatan sejarah bahwa Ali Sadikin adalah gubernur Jakarta yang pertama kali dilantik secara langsung oleh presiden di Istana Negara. Pelantikan Ali Sadikin tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1966. Dalam keputusan tersebut, Ali Sadikin yang juga merupakan anggota staf Waperdam Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dipandang cakap dan memenuhi syarat-syarat menjadi Gubernur DKI Jakarta

Dalam buku Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H, ia mengatakan bahwa masyarakat menyebut Bang Ali sebagai gubernur Jakarta terbaik sepanjang sejarah. Dia yang dijadikan idola bagi oleh warga mengharapkan gubernur-gubernur atau calon-calon gubernur Jakarta selanjutnya. Kemudian ia memaparkan dalam bukunya bagaimana Presiden Soekarno memilih Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta Raya pada waktu itu.

"Ada, ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin itu orang yang keras. Dalam bahasa Belanda ada yang menyebutnya, een koppige vent, koppig. Saya kira dalam hal mengurus Kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala)," kata Sukarno.

Soekarno menambahkan, "Apalagi ndoro dan ndoro ayu sudah tahu, tidak boleh membuang sampah semau-maunya di pinggir jalan, tapi ndoro dan ndoro ayu toh menaruh sampah di pinggir jalan. Nah, itu perlu dihadapi oleh orang yang sedikit keras, yang sedikit koppig."

Tapi, insya Allah, doe je best (berusahalah dengan sebaik-baiknya), agar supaya engkau dalam memegang kegubernuran Jakarta Raya ini benar-benar, juga sekian tahun lagi masih orang mengingat, dit heeft Ali Sadikin gedaan, inilah perbuatan Ali Sadikin. Inilah yang dilakukan oleh Ali Sadikin," kata Sukarno.

Nama besar Ali Sadikin tak lepas daripada peran Presiden Soekarno. Ali Sadikin tidak pernah mendapat stigma apa pun sebelum Presiden Soekarno menunjuk dan melantiknya pada 1966 silam. Satu-satunya yang dikenal dari Guburnur DKI Jakarta ini adalah sifatnya yang koppig atau keras kepala, itulah yang menyebabkan pula ia mendapat julukan dari Pemerintahan Soeharto sebagai ‘pembangkang’ sebagai salah satu tokoh dari petisi 50, dan pula dikenal oleh masyarakat Jakarta dengan sebutan “bang ali” sebagai bentuk gambaran keakraban antara gubernur dengan warganya ini.

Awal Pemerintahan
Upacara Apel di Pimpin Ali Sadikin. Foto:keepo
Saat pertama kali memulai pemerintahannya di tahun 1966. Gubernur Ali Sadikin dihadapkan pada beberapa keadaan yang cukup sulit : inflasi yang mencapai 600% dan anggaran DKI Jakarta yang hanya tersedia sekitar 66 juta yang akan terbagi untuk menjalankan pemerintahan atas tiga wilayah Jakarta pada saat itu : Jakarta Utara, Jakarta Tengah, dan Jakarta Selatan. Dibawahnya terdapat 24.700 pegawai yang pada saat itu upahnya dinilai cukup rendah oleh Ali Sadikin.

Dia memikirkan bagaimana cara mengatur kehidupan tiga juta enam puluh ribu penduduk pada awal kepemimpinannya (1966-1977) yang akan terus berkembang akibat arus urbanisasi yang meningkatkan jumlah penduduk sekitar seratus ribu orang per tahun, padahal pemerintah kolonial Hindia Belanda pada waktu itu hanya menyiapkan Batavia (sekarang Jakarta) hanya untuk kapasitas enam ratus ribu sampai delapan ratus ribu jiwa.

Bukan hanya masalah penduduk secara makro yang ia lihat. Lebih spesifik Ali Sadikin berpikir bagaimana ia bisa mengatur bayi yang lahir, sampai orang yang meninggal; dari makan, tempat tinggal, pekerjaan, sampai pemakaman mereka.

Masyarakat ibukota pada masa awal pemerintahan Ali Sadikin yang pula terimbas dari krisis ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Mendapatkan imbas pada semua bidang, antara lain: krisis lapangan pekerjaan, krisis sarana pendidikan, krisis infrastruktur, krisis angkutan, krisis jaringan telepon, krisis usaha, dan pelbagai krisis lainnya.

Hal tersebut harus dihadapi dengan dana yang bisa dibilang sangat kurang untuk membiayai pembangunan sebuah ibukota Republik Indonesia, yang diharapkan sebagai pusat kebudayaan bangsa ini. 

Pelaksanaan Pemerintahan Dan Strategi Mencari Uang
Blusukan Ali Sadikin (KOMPAS/IGN SUNITO)
Dalam melaksanakan pembangunan Jakarta. Ali Sadikin memproyeksikan perubahan anggaran belanja daerah pada tahun berikutnya menjadi Rp266 juta dari tahun semula yaitu Rp66 juta. Anggaan tersebut akan digunakan untuk pembangunan, revitalisasi, serta pemeliharaan infrastrukut yang dinilai olehhnya “semrawut.”

Dalam menentukan anggaran itu, Pemerintah Daerah berdasarkan pada jumlah pendapatan yang diterima, serta berlandaskan pada Penetepan Presiden No.26 Tahun 1965 yang menetapkan anggaran belanda daerah disusun secara berimbbang(balanced budget). Dalam menghadapi tantangan demikian, Ali Sadikin menyadari bahwa diperlurkannya sumber pendanaan yang harus digali selain memanfaatkan penerimaan pajak, retribusi dan pendapatan daerah yang bersumber dari subsidi pemerintah pusat. Nilainya dirasa belum mencukupi untuk memulai sebuah pembangunan yang ia rancang sebagai “metropolitan.” 

Sebelum mengambil kebijakan bagaimana cara mencari pendanaan yang harus dibutuhkan. Terlebih dahulu Ali Sadikin mereformasi sistem keuangan daerah dengan penataan sistem perpajakan, administrasi dimodernisasi dengan komputerisasi, dan soal kedisiplinan pegawai disosialisasikan dan diterapkan secara mantap. Menurut Ali Sadikin dalam Gita Jaya (1977), cara-cara untuk meningkatkan pendapatan daerah ditempuh dengan jalan intensifikasi penggalian sumber-sumber baru sesuai dengan hak-hak otonomi daerah.

Ali Sadikin mempelajari dengan seksama ketentuan yang berlaku untuk memobilisir dana-dana yang ada di daerah sesuai dengan kewenangan yang ada. Pada hakekatnya, sumber pendapatan bagi daerah dapat dibagi-bagi menjadi dua kelompok penerimaan, yaitu penerimaan-penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat dan penerimaan pemerintah daerah sendiri.

Penerimaan dari pusat meliputi subsidi penerimaan keuangan antara pusat dan daerah; iuran pembangunan daerah (IPEDA); bantuan-batuan program pembangunan (Proyek Inpres); penerimaan-penerimaan lain dari negara. Sedangkan penerimaan dari daerah sendiri meliputi pajak daerah,yaitu pajak-pajak yang berdasarkan wewenang yang diberikan oleh perundang-undangan yang berlaku diadakan dan dipungut oleh pemerintah daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1957 tanggal 22 Mei 1957, tentang peraturan umum pajak daerah

Pemerntah Jakarta pada saat itu pontang panting mencari uang. Penerimaan pajak tidak berjalan dengan semestinya disebabkan oleh pengemplangan pajak oleh wajib pajak, serta aparatur perpajakan yang kinerjanya cukup buruk. Pemerintah Jakarta pada saat itu mengedepankan kosep enterprenerurship yang menganalogikan sebagai sebuah perusahaan.

Pemegang saham adalah rakyat, direksinya adalah gubernur, dan pengawas serta komisarisnya adalah DPRD, jadi jika orang-orang itu tidak membayarkan pajak maka: “ No tax, no service. Because service is money, money is tax!”, kata Ali Sadikin pada waktu itu. Ali Sadikin pun beranggapan sebagai eksekutif harus berdampingan untuk bekerja bersama dengan eksekutif. Untuk itu pada masa pemerintahannya ia berusaha menghindari konflik-konflik dengan DPRD dan menjalin relasi yang cukup baik. 

Menurut Ali Sadikin dalam Gita Jaya (1977), usaha penataan kembali perangkat pemerintah kota tersebut ditempuh melalui berbagai tahap yang terdiri dari:

  • Pertama, memperbaiki iklim hubungan kerja antara perangkat eksekutif dengan DPRD. Langkah ini perlu untuk menjamin mewujudkan tanggung jawab bersama antara unsur eksekutif dan DPRD agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilaksanakan. 
  • Kedua, perombakan susunan organisasi pemerintahan daerah melalui langkah-langkah penataan kembali susunan perangkat pemerintahan daerah. Dalam hal ini termasuk langkahlangkah ke arah peningkatan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan pelayanan masyatrakat yang dilakukan di luar perangkat pemerintah daerah. 
  • Ketiga, penggarapan pemerintah daerah. Bagian ini sangat penting, karena seringnya perubahan, pemecahan dan penyatuan berbagai departemen di tingkat pusat telah membawa pengaruh terhadap pembagian tugas di antara dinas-dinas daerah maupun instasi vertikal dan perangkat pemerintah lainnya yang cakupan wilayah kerjanya di daerah. 
  • Keempat, memberikan kesatuan arah bagi perangkat pemerintah daerah disamping usaha peningkatan kemampuan, juga disusun kerangka kerja yang terencana berdasarkan program. Kelima, memberikan perhatian jaminan atas kepastian hukum para pegawainya, jenjang karier, jenjang kepangkatan, sistem prestasi dan norma-norma kepegawaian yang baik lainnya, perlu ditegakkan. Hal ini penting untuk memungkinkan para pegawai dapat bekerja tenang dan penuh tanggung jawab di bidang pekerjaannya.
Dalam menanggulangi perpajakan di Jakarta. Pemerintah pada saat itu mencoba untuk memperbaiki sistem perpajakan dengan merapihkan data wajib pajak dengan meminta informasi dari instansi Polantas, Bea Cukai, dan Departemen Keuangan RI.

Semua itu dilakukan untuk menindak para pengeplang pajak kendaraan, bea impor, dan pajak penghasilan pada saat itu, serta bersama Departemen Keuangan untuk menyusun penyesuaian tarif pajak dan retribusi, kemudian kerja sama dalam sosialisasi perpajakan di wilayah DKI Jakarta Raya.

Dalam usahan mereformasi dan revitalisasi aparatur pemerintahan, dalam upaya pelaksanaan dekonsentrasi pemungutan pajak kepada unit-unit pelaksana di setiap wilayah, yang telah dimulai pada tahun 1964. Diadakan pelatihan dan pembinaan aparatur pemerintahan melalui program pendidikan dan latihan kepegawaian yang ditunjang oleh fasilitas dari Departemen Keuangan.

Hasil dari berbagai kerjasama yang dilakukan, baik dengan Departemen Keuangan ataupun Polantas. Membawa dampak yang cukup baik dalam realisasi penerimaan pajak tahun-tahun berikutnya pada kurun waktu 1966-1974. Hal tersebut dapat terjadi akibat dari penurunan jumlah pengemplang pajak, serta pungutan liar yang biasa terjadi di instansi perpajakan daerah, dan yang terpenting adalah kepercayaan dari masyarakat sebagai wajib pajak yang merasakankan manfaat dari pajak yang mereka bayarkan.

 Pemerintah menjadikan pajak sebagai komponen utama dalam rehabilitasi pembangunan fisik berupa : jalan raya, sekolah , puskesmas, dan fasilitas budaya. Hal tersebut juga menciptakan iklim usaha yang bagus yang menjadi sumber penerimaan pajak. Jumlah bioskop meningkat  dari 33 buah menjadi 125 buah pada awal tahun 1977. Pertambahan ini disebabakan oleh rehabilitasi bangunan-bangunan yang sebelumnya ada dan pembangunan-pembangunan baru, serta munculnya tempat-tempat hiburan, yang pula ditambah dengan peningkatan jumlah impor kendaraan bermotor yang menjadi pertambahan sumber pajak bagi daerah.

Namun, Ali Sadikin menilai bahwa penerimaan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak dan retribusi tidaklah cukup. Cukup dalam arti kata mengembangkan kota Jakarta yang terkenal dengan sebutan “kampung besar” ini menjadi sebuah kota "metropolis." Masih banyak fasilitas umum (kesehatan dan pendidikan) yang belum dapat dibangun menyeluruh di seluruh wilayah ibukota negara ini. Untuk membangun jalan-jalan yang mulus, membangun sekolah-sekolah atau sekadar memperbaikinya, serta pembangunan sarana-sarana kesehatan berupa puskesmas-puskesmas untuk ditingkat kecamatan dan kelurahan. 

Bahkan menurut Ali Sadikin, pembangunan harus dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan rohani masyarakat Jakarta, salah satunya adalah pembangunan saran penunjang kebudayaan dan hiburan. Selain itu pemuda harus pula dipikirkan dengan pembangunan fasilitas yang dapat bermanfaat bagi pemuda, diantaranya pelajar dan mahasiswa. 

Untuk dapat mewujudkan itu semua, Ali Sadikin sadar bahwa uang yang dibutuhkan tidaklah sedikit, dengan hanya mengandalkan anggaran daerah yang sekarang tidaklah cukup. Kemudian Ali Sadikin mengambil kebijakan menggali sumber pendapatan untuk pembangunan kota Jakarta dari sektor perjudian. Ali Sadikin melegalkan perjudian karena hasil-hasil dari pajak judi akan dimanfaatkan sebagai salah satu pendapatan daerah. Hal itu dia lakukan atas hasil pengamatannya bahwa dari pada membiarkan maraknya judi di Jakarta dan tidak menghasilkan apa-apa untuk Jakarta, lebih baik perjudian dilegalkan dan dikenakan pajak yang tinggi.

 Selain untuk meminimalisir penyimpangan yang dilakukan sejumlah orang untuk melindung perjudian ini, lebih baik pemerintah daerah sendiri yang memberikan perlindungan dengan bentuk legalisasi. Dengan demikian pemerintah mendapatkan manfaat berupa anggaran yang cukup besar dari pajak perjudian ini, sekitar 40 miiliar rupiah dalam satu tahun.

Dalam mengambil kebijaknnya ini, Ali Sadikin tidak pernah meminta pengarahan dari atasannya, termasuk pada waktu memutuskan untuk melegalisasi perjudian di seluruh wilayah Jakarta, Ali Sadikin mengambil kebijakan sendiri (Prayitno, Harja & Timu, 2004). Menurut Ali Sadikin dalam Irawan dkk (2008), untuk menghindari penyimpangan terhadap kebijakan tersebut, Ali Sadikin melakukan beberapa hal, antara lain dengan membentuk tim pengawas yang mengawasi aspek sosial-politik dan retribusi yang diatur lewat SK Gubernur DKI Jakarta. 

Agar kebijakan ini dapat berjalan, maka hal-hal lain yang dilakukan adalah transparansi menyangkut seluruh penerimaan daerah dari pajak judi yang dimasukkan dalam kelompok penerimaan khusus dalam APBD. Dalam hal ini, para anggota DPRD bisa mengontrol ke mana dana hasil perjudian itu dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan yang meliputi bidang pendidikan, sosial mental dan kerohanian, serta infrastruktur.
Salah Satu Club di Kramat Tunggak. Foto: panyileuken)
Selain melegalisasikan perjudian. Salah satu kebijakan Ali Sadikin dalam mencari pemasukan yang besar untuk anggaran pemerintah daerah adalah dengan membangun Komplek Lokalisasi Kramat Tunggak. Kramat Tunggak ini terletak di jalan Kramat Jaya RW 019, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara.

Areal tersebut tepatnya menempati lahan seluas 109.435 m2 Akhirnya tempat tersebut ditetapkan sebagai lokalisasi melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 tanggal 27 April 1970, tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila serta Pembidangan dan Tanggung Jawab, yang ditandatangani oleh Ali Sadikin. Sehingga tempat ini menjadi lokalisasi tempat prostitusi yang sebelumnya tersebar di beberapa tempat, seperti Bina Ria dan Volker, yaitu deretan rel kereta api di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Pada awal pembukaan, hanya terdapat 300 orang PSK dan 76 mucikari.

Sebelum mengambil kebijakan membangun Komplek Lokalisasi Kramat Tunggak. Sudah beberapa kali Ali Sadikin mengadakan peninjauan mendadak ke daerah-daerah “pasaran wanita”, ke daerah “pelacuran” yang paling ramai di sepanjang Kramat Raya dan Senen untuk mengumpulkan data yang benar. Pada waktu itu, pemberantasan pelacuran memang masalah yang sangat sulit. Pekerjaan itu sudah menjadi mata pencaharian mereka. Tapi Pemerintah Jakarta tidak dapat membenarkan atau mendiamkan perbuatan ini. Selain melokalisasi pelacuran di Kramat Tunggak, Ali Sadikin juga membuka tempat hiburan malam .

Ali Sadikin mengatakan upaya itu sebagai bagian dari melayani masyarakat, serta pencegahan menyebar luasnya penyakit HIV/Aids karena praktek pelacuran yang dilakukan diberbagai wilayah di Jakarta. Karena itu, Ali sadikin berani membuka judi, steambath, dan klub-klub, terutama untuk orang asing yang habis bekerja tidak langsung pulang, melainkan pergi ke klub untuk minum kopi setelah itu baru pulang. Pembukaan klub-klub itu dilakukan untuk melayani masyarakat kelompok ini.

Dalam usahanya ini. Ali Sadikin dapat memporeleh pundi-pundi uang untuk mengisi kas anggaran pemerintah Jakarta. Tercatat pendapatan kotor pemerintah Jakarta telah meningkat dengan pesat, dari Rp8,565 milyard pada tahun 1966 menjadi Rp555,8 miliar pada tahun 1973. Dengan kebijakan ini pula Ali Sadikin dapat meninggalkan kas bersih Jakarta sejumlah Rp89 miliar pada akhir masa jabatannya pada tahun 1977 yang pada tahun pertama menjabat 1966 hanya mempunya kas bersih sejumlah Rp66 juta.

Hasil Pembangunan

Hasil dari jerip payah pemerintahan Jakarta dibawah pimpinan Ali Sadikin dalam mengumpulkan uang yang nilainya cukup luar biasa dipergunakan untuk membangun infrastruktur dan pelayanan sosial masyarakat Jakarta.

Pendidikan

Dalam meninkatkan taraf hidup dan peradaban masyarakat kota. Pemeritah Jakarta mampu menciptakan keseimbangan penyediaan dan pelayanan kebutuhan sarana pendidikan baik untuk SD, SLP maupun SLA yang menjadi salah satu permasalahan yang ia sebut “semrawut” pada masa awal pemerintahannya. Ali Sadikin membangun lebih dari seribu gedung sekolah, serta memperbaiki seribu gedung sekolah lainnya yang telah ada dari jenjang SD sampai SLA, serta pembangunan sekolah-sekolah islam (madrasah) di wilayah-wilayah Jakata.

Salah satunya dilahan yang pernah menjadi komplek pemakaman arab di wilayah Tanah Abang. Ali Sadikin merelokasi pemakaman dan menjadikan lahannya untuk melebarkan pusat bisnis tanah abang, serta beberapa bagian untuk dibangun madrasah. Kemudian kebijakan dalam hal memajukan pendidikan di Jakarta adalah kebijakan beasiswa pendidikan kepada setiap anak yang lahir dan tinggal di Jakarta.

Kesehatan

Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, selain pembangunan puskesmas-puskemas di setiap kecamatan pada waktu itu. Pemerintah dihadapkan dengan beberapa permasalahan diantaranya meliputi kurangnya pasokan darah, kenakalan remaja seperti pecandu narkoba, adanya penyakit menular, serta masalah hygiene perusahaan dan pencemaran di Jakarta. Untuk mengatasi masalah kekurangan darah.

Ali Sadikin menempuh kebijakan antara lain dengan: mengukuhkan berdirinya Perhimpunan Donor Darah Jakarta dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus meningkatkan jumlah donor darah sesuai dengan SK gubernur KDKI Jakarta tanggal 12 Juni 1975 No. D.III-3567/a/8/1975 tentang pembentukan perkumpulan donor darah di Jakarta.

Untuk menanggulangi masalah korban narkotika, pemerintah DKI Jakarta mengambil langkah-langkah antara lain dengan melakukan pencegahan melalui bimbingan individual dan kelompok, khususnya bimbingan keluarga dan kelompok remaja melalui lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi masyarakat yang telah ada. Selain itu, pemerintah mengadakan usaha rehabilitasi korban narkotika di RS. Fatmawati Cilandak. Pada tahun 1973, Ali Sadikin memprakarsai pendirian wisma “Pamardhi Siwi” sebagai sarana perawatan/rehabilitasi korban narkotika atau anak-anak nakal, baik dari hasil razia maupun titipan dari orang tua para korban narkotika.

Adapun kegiatan pemberantasan penyakit menular dilakukan dengan menurunkan tingkat penularan melalui rehydrations center dengan menambah jumlah rumah sakit yang akan merawat penderita. Disamping itu, pemerintah meningkatkan pendidikan dan penyuluhan kesehatan pada masyarakat serta peningkatan kesehatan lingkungan.

Untuk mengatasi masalah hygiene (kesehatan) perusahaan dan pencemaran di Jakarta, telah diadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga riset nasional dengan mengumpulkan data-data perusahaan dan klasifikasinya, jumlah kendaraan yang mencemari udara serta pengambilan sampel-sampel air untuk dilakukan pengujian.

Masyarakat, Pemuda, Dan Budaya
Foto: Kompas
Selain infrastruktur dasar seperti sekolah, jalan raya, puskesmas, pusat-pusat bisnis dan perkantoran. Ali Sadikin selama pemerintahannya telah membangun berbagai fasilitas untuk rekreasi dan hiburan rohani masyarakat kota Jakarta, diantaranya :
  1. Taman Ismail Marzuki
  2. Planetarium Jakarta
  3. Taman Impian Jaya Ancol
  4. Kebun Binatang Ragunan
  5. Taman Ria Monas
  6. Taman Ria Remaja
  7. Kota Satelit Pluit di Jakarta Utara
  8. Pusat Pelestarian Budaya Betawi di kawasan Condet
Selain pembangunan rekreasi dan hiburan. Ali Sadikin membangun fasilitas yang diperuntukan untuk pemuda, pelajar, dan mahasiswa di Jakarta, antara lain : Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brodjonegoro di Jalan H.R Rasuna Said sebagai tempat perkumpulan para mahasiswa di Jakara, Gelanggang Remaja Bulungan, Gedung Perfilman Usmar Islamail di Kuningan sebagai tempat yang diproyeksikan sebagai Hollywoodnya Jakarta. Kemudian pembangunan Balai Rakyat yang tersedia di setiap kecamatan di Jakarta yang diperuntukan untuk hajatan, olahraga, dan macam kegiatan masyarakat.


Selain itu beliau juga menggagas pembangunan beberapa museum seperti Museum Fatahilla, Museum Tekstil, Museum Keramik, dan Museum Wayang. Beliau juga berperan penting dalam pengembalian fungsi gedung-gedung bersejarah, seperti Gedung Juang 1945 dan Gedung Sumpah Pemuda. Kemudian bersama Tien Soeharto menggagas pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) .


Ali Sadikin tak lupa akan budaya betawi sebagai ikon dari ibukota. Beliau mengangkat kembali budaya betawi seperti ondel-ondel, lenong, dan kerak telor secara luas ke dalam sebuah pesta rakyat yang ia selenggarakan setiap tahun dalam memperingati hari jadi kota Jakarta pada 21 Juni atau yang kini dikenal dengan Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair). Ali Sadikin juga mengadakan kompetisi Abang dan None Jakarta untuk mencari duta budaya Jakarta dalam mempromosikan, serta memberikan gambaran akan budaya betawi Jakarta


Kehidupan Bersama Keluarga Semasa Menjadi Gubernur


Sebelum berangkat dinas gubernur. Ali Sadikin membiasakan membaca setumpuk koran setelah sembahyang subuh atau setelah mandi. Tak kurang dari lima belas penerbit koran yang ia baca setiap hari. Selain membaca koran, Ali Sadikin menyempatkan membaca surat-surat yang tertuju kepadanya, baik yang langsung datang ke rumah, atau surat dari kantor dinasnya. Surat-surat tersebut berisi kritik, sanjungan, dan tak jarang berupa laporan dari masyarakat Jakarta.

Ali Sadikin, setiap istirahat siang selalu menyempatkan diri untuk makan siang di rumah bersama dengan Nani Sadikin dengan panggilan kesehariannya kepada istrinya, Nan. Dan lima orang putranya : Boy Bernanady, Eddy Trisnadi, Iwan Hernadi, Benyamin Irwansyah, Istrinya merupakan seorang dokter gigi, namun rutinitasnya berubah dan bisa dibilang sudah tidak dapat menjalankan profesinya sebagai dokter gigi. Karena kesibukan sebagai istri gubernur.

Ali Sadikin kerap kali bersikap keras kepada anaknya. Ia menegaskan kepada anak-anaknya bahwa gedung Balai Kota adalah kantornya. Dan hal ia tegaskan bahwa anak-anaknya tidak boleh datang atau keluyuran dikantornya, selain karna faktor yang bersifat mendesak. 

Ali Sadikin kerap kali dikunjungi oleh mertuanya. Ali Sadikin merasa sejuk akan kedatangan mereka berdua, meskipun terkadang lelah selepas pulang dari kantor, kedatangan mereka yang justru menghilangkan keruwetan yang bertumpuk dikepalanya. Disamping itu Ali Sadikin mempunyai anjing pudel, namanya Skoti dan Viki, kemudian beliau mempunyai pula anjing herder bernama Berando.

Kritik Kebijakan Kontroversi dan Tanggapan Ali Sadikin

Pada saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ada beberapa kebijakan yang dinilai masyarakat secara luar sebagai sebuah kebijakan yang kontroversial, diantaranya adalah legalisasi perjudian dan pembangunan komplek lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak. Hal tersebut dinilai aneh oleh sebagian masyarakat dan khususnya para pemuka agama yang mengecam kebijakan Ali Sadikin yang dinilai membangun Jakarta dengan uang yang haram. 

Menanggapi hal tersebut, kepada wartawan Tempo, Setiyardi. Ali Sadikin memberikan respon atas kritikan yang ditujukan kepadanya atas kebijakan yang diambil semasa menjadi gubernur DKI Jakarta. Dimuat dalam harian Tempo, Demi Judi Aku Rela Masuk Neraka tertanggal 25 Juni 2005. Ali Sadikin menyatakan tak ambil pusing atas pernyataan para ulama yang mengecamnya tersebut. Ali Sadikin bahkan berkata kepada para ulama atau orang lain yang menyatakan tindakannya ini adalah hasil dari uang haram untuk naik helikopter dan tidak melintasi jalan di Jakarta, karena semua jalan di Jakarta menurutnya dibangun atas hasil uang haram tersebut. 

Ali Sadikin menapikan kritik terhadapnya yang mengatasnamakan islam itu adalah sebuah kemunafikan. Jakarta butuh uang banyak untuk membangun infrastruktur kala itu. Bahkan ia bertanya apakah para ulama bisa menyediakan uang miliaran untuk pembangunan kota Jakarta? Dia berkata bahwa ia rela masuk neraka demi judi, asal kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Dia bersikap realistis bahwa pembangunan Jakata harus berjalan, banyak gedung-gedung sekolah, jalan, dan puskesmas yang harus dibangun. Ali Sadikin menyebut orang-orang yang mengkritiknya, yang ia sebut mengaku-ngaku islam tersebut membuatnya jengkel dan sok berlaga seperti malaikat, serta berpikir seperti abad ke 15.

Daftar Pustaka: 

Buku :
K.H Ramadhan. 1995. Bang Ali Demi Jakarta  1966-1977. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
____________. 1995. Pers Bertanya Bang Ali Menjawab. Jakarta : Pustaka Jaya
____________. 2012. Ali Sadikin; Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi. Jakarta : Ufuk Press

E-Print Koran Tempo :
Setiyardi. Ali Sadikin : Demi Judi Saya Rela Masuk Neraka. Tempo No. 04/XXXIV/21 - 27 Maret 2005

Sumber Online :

Tokohindonesia.com. Paling Berjasa Membangun Jakarta.
Merdeka.com. Profil Ali Sadikin. Mei 2008
news.okezone.com. Kramat Tunggak, Lokalisasi Tersohor Se Asia Tenggara. 25 April 2012

Video :
Melawan Lupa, Jejak Langkah Bang Ali (Metro.tv)
Memoar Eps Ali Sadikin (Kompas.tv)


Posting Komentar untuk "Kiprah Ali Sadikin Membangun Jakarta (1966-1977)"