Kesultanan Siak Sri Indrapura, 1723–1945
Masuk
dan menyebarnya Islam ke Nusantara melalui pesisir Sumatera dan
mempengaruhi Kesultanan yang berada di daerah yang sekarang bernama
Aceh. Nama kerajaan tersebut adalah Samudera Pasai dan raja pertamanya
yang memeluk Islam bernama Marah Silu, yang kemudian setelah masuk Islam
bergelar Sultan Malik as-Saleh.
Selain itu, daerah Malaka yang merupakan pusat perdagangan penting dan
juga pusat penyebaran Islam berkembang pula menjadi kerajaan baru dengan
nama Kesultanan Malaka. Dari sini, Islam kemudian menyebar. Setelah
itu, penyebaran agama Islam dilakukan secara besar-besaran oleh para
pedagang melalui pantai timur Sumatera dan menyebar ke seluruh Sumatera.
Oleh karena itulah, di daerah Sumatera Timur dan Tengah terdapat
beberapa kesultanan. Beberapa kesultanan yang berada di daerah Sumatra
Timur dan Tengah, dengan masa dan rentang waktu yang berbeda pula.
Namun, makalah ini hanya akan berfokus pada pembentukan Kesultanan
Siak.
Pada mulanya, wilayah Siak sendiri merupakan wilayah vasal yang berada
dibawah Kesultanan Melaka. Siak sendiri pada masa itu merupakan sebuah
pusat penyebaran dakwah dan syiar Islam dan merupakan wilayah dengan
Islam yang kental, sehingga berdampak pada peradaban, kebudayaan dan
adat. Hingga dikatakan bahwa orang yang pandai dalam pengetahuan
Islamnya dikenal dengan sebutan Orang Siak. Sejak jatuhnya Malaka ke
tangan VOC, Kesultanan Johor telah mengklaim wilayah Siak sebagai
wilayah kekuasaannya.
Hal ini terus berlangsung sampai pada akhirnya, pemimpin yang berkuasa
di Siak yang bernama Raja Kecik memutuskan untuk melepaskan diri dari
pengaruh Kesultanan Johor dan menjadi sebuah kesultanan yang mandiri dan
berdaulat. Dalam Hikayat Siak disebutkan, bahwa Raja Kecik merupakan
seorang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan
kekuasaan di Kesultanan Johor dan kemudian menyingkir ke Siak. Nama
aslinya adalah Sultan Abdul Jalil Syah. Di Siak inilah, Raja Kecik atau
yang juga bernama Sultan Abdul Jalil Syah kemudian mendirikan sebuah
kesultanan dengan nama Siak Sri Indrapura.
Wilayah dan Sistem Pemerintahan Kesultanan Siak
Wilayah Kesultanan Siak

Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak setidaknya mengalami 3 fase perubahan
dari saat awal didirikannya Kesultanan Siak Oleh Sultan Abdul Jalil
Rakhmat Syah pada tahun 1723 sampai saat masa sultan terakhir Sultan
Syarif Kasim II. Pada saat masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah,
daerah kekuasaannya meliputi Perbatinan Senapelan, Perbatinan Gasip,
Perbatinan Sejaleh, Perbatinan Perawang, Perbatinan Sakai, Perbatinan
Petalang, Perbatinan Tebing Tinggi, Perbatinan Senggoro, Perbatinan
Merbau, Perbatinan Rangsang, Kepenghuluan Siak Kecil, Kepenghuluan Siak
Besar, Kepenghuluan Rempah, dan Kepenghuluan Betung.
Pemerintahannya berpusat di daerah Buantan. Seiring berjalannya waktu,
Raja Kecik memperluas daerah kekuasaannya dan merebut Rokan Tanah Putih,
Bangka dan Kubu. Pada tahun 1724 dan 1726 Siak menyerang orang-orang
Bugis di Kedah, tetapi Kedah tidak berhasil ditaklukan. Wilayah
kekuasaan Kesultanan Siak mencapai titik puncak perluasan wilayahnya
pada saat masa pemerintahan Sultan Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi.
Pada saat pemerintahan Sultan Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi, Kesultanan
Siak mengalami perluasan wilayah hingga melingkupi 12 wilayah jajahan
yang terdiri dari Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai,
Bilah, Asahan, Serdang, Deli, Langkat, dan Temiang yang berbatasan
dengan Aceh dan wilayah taklukan Sambas di Kalimantan.
Luas wilayah kekuasaan Kesultanan Siak mengalami penyusutan wilayah yang
cukup signifikan pada tahun 1858 yang diakibatkan oleh
ditandatanganinya Traktat Siak. Perjanjian itu sendiri diwakili oleh
dua orang yaitu Residen Riau J.F. Niewenhuyzen dan Sultan Syarif Ismail
Abdul Jalil Syarifuddin yang isinya adalah :
- Belanda mengakui hak otonomi Siak atas daerah Siak asli.
- Siak menyerahkan daerah jajahannya yaitu Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan kepada pemerintah kolonial Belanda
Dan dengan disetujuinya perjanjian tersebut, Kesultanan Siak menjadi berada dibawah naungan pemerintah kolonial Belanda
Sistem Pemerintahan Kesultanan Siak
Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah sebagai pendiri Kesultanan Siak
merumuskan awal landasan sistem pemerintahan di Kesultanan Siak. Sistem
pemerintahan di Kesultanan Siak mengatur bahwa Sultan memiliki Dewan
Kesultanan sebagai pembantu Sultan dan fungsinya sebagai Pelaksana dan
Penasihat Sultan. Dewan Kesultanan terdiri atas :
- Datuk Tanah Datar dengan gelar Sri Paduka Raja
- Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa
- Datuk Pesisir dengan gelar Sri Dewa Raja
- Datuk Kampar dengan gelar Maharaja Sri Wangsa
Ada pula selain keempat datuk tersebut adalah Datuk Bintara kanan dan
Bintara Kiri yang bertugas dalam pengaturan tata pemerintahan, hukum dan
undang-undang kesultanan, Datuk Laksmana bertugas dalam pengaturan
kelautan, dan Panglima untuk mengatur wilayah daratan.
Kesultanan Siak pun juga mengatur sistem pemerintahan yang ada di
daerah, pemerintahan yang berada di daerah-daerah diatur dan dipimpin
oleh para Kepala Suku yang mempunyai gelar Penghulu, Orang Kaya, dan
Batin. Ketiga jabatan tersebut tingkatannya sama, hanya saja bagi
Penghulu mereka tidak memiliki hutan tanah (tanah ulayat). Dalam
bertugas Penghulu pun memiliki pembantu dalam menjalani tugasnya yaitu:
- Sangko Penghulu (wakil penghulu)
- Malim Penghulu (pembantu urusan agama)
- Lelo Penghulu (pembantu urusan adat)
Sedangkan Batin dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku asli
(conton : Perbatinan Sakai). Jabatan ini dikepalai secara turun-temurun.
Mereka Memiliki hutan tanah (tanah ulayat). Dalam bertugas mereka
dibantu oleh:
- Tongkat (pembantu dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap sultan)
- Monti (pembantu urusan adat)
- Antan-antan (pembantu yang dapat mewakilkan seorang Tongkat atau Monti jika keduanya sedang berhalangan)
Sistem pemerintahan yang dirancang oleh Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah
ini bertahan hingga masa pemerintahan Sultan Syarif Hasim Abdul Jalil
Syarifuddin. Sultan Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin mengubah sistem
pemerintahan dan merumuskan landasan sistem pemerintahan Monarchy
Konstitusional. Sistem pemerintahan ini diawali dengan disusunnya dan
diberlakukannya Al Qawa’id atau Babul Qawa’id (Konstitusi Tertulis
Kesultanan Siak).
![]() |
Sultan Siak berserta Dewan Menterinya dan Kadi Siak pada tahun 1888. Foto: Tropenmuseum |
Perubahan sistem pemerintahan juga terjadi di dalam lembaga Kesultanan.
Sultan di dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh pejabat
kesultanan yang memimpin lembaga kesultanan yang berada di pusat maupun
yang berada di daerah, terdiri dari:
- Dewan Menteri
- Bertugas dalam memilih dan mengangkat seorang sultan dan membantu sultan dalam merumuskan hukum peraturan dan undang-undang
- Hakim Kerapatan Tinggi
- Bertugas dalam setiap pengadilan umum dalam kasus-kasus yang melibatkan masyarakat Siak
- Hakim Polisi
- Kepala pemerintahan dalam tingkat Provinsi sebagai wakil sultan
- Hakim Syariah
- Hakim Syariah ada dua, yaitu Kadi Siak dan Imam Jajahan. Kadi Siak bertugas dalam menangani pengadilan tentang harta pusaka dan warisan serta dalam masalah hukum adat. Imam Jajahan bertugas sebagai pembantu Kadi Siak
Hakim Kepala Suku
Tingkatan pemerintahan yang terendah dan tugasnya adalah sebagai
pemimpin pemerintahan dan pengatur kehidupan bermasyarakat, beragama,
dan bernegara di dalam suku-sukunya masing-masing. Hakim Kepala Suku
berada dibawah naungan Hakim Polisi
Sistem pemerintahan ini sempat diubah oleh belanda. Sultan memerintah
tanpa didampingi oleh Dewan Menteri karena kedudukan pemerintahan ini
telah dihapuskan dan wilayah Kesultanan Siak dipersempit yang awalnya
memiliki 10 provinsi menjadi hanya 5 distrik.
Sistem pemerintahan ini bertahan hingga pemerintahan Sultan Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin atau yang dikenal juga sebagai Sultan Kasim II Mendeklarasikan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946.
Sistem pemerintahan ini bertahan hingga pemerintahan Sultan Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin atau yang dikenal juga sebagai Sultan Kasim II Mendeklarasikan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946.
Hubungan Perdagangan di Kesultanan Siak
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, orang-orang Melayu kemudian ikut
berdagang. Perdagangan di Melayu sendiri sudah mengalami perjalanan
yang panjang dengan dimulai dari Melaka, hingga akhirnya sampai ke Siak.
Pada awalnya, di wilayah Siak terdapat syahbandar-syahbandar yang
bertugas memungut cukai untuk kapal yang disebut sebagai “tebusan wang
kapal”. Tentunya, pada masa itu upeti tersebut masih diberikan kepada
Kesultanan yang berkuasa pada masa itu yaitu Kesultanan Melaka.
Setelah Siak menjadi kesultanan sendiri, pada masa pemerintahan Sultan
Alamuddin Sayah, pusat pemerintahan dipindahkan ke Senapelan. Maksud dan
tujuan dipindahkannya pusat pemerintahan ini adalah agar dibukanya
pusat perdagangan baru yang lebih dekat dengan daerah-daerah penghasil
barang dagangan. Oleh karena itu, kemudian dibuka pekan di bandar
Senapelan, dan disebut Bandar Pekan, yang akhirnya berubah lagi menjadi
Pekanbaru.
Dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dan memperbesar pusat
perdagangan tersebut, maka terbuka lebar jalur perdagangan antara
Senapelan dengan daerah-daerah penghasil lada, gambir dan hasil hutan
lainnya. Perdagangan yang telah dirintis sebelumnya juga dikembangkan
dan dipelihara. Selain itu, bagi daerah-daerah taklukan wajib membayar
upeti kepada Siak. Langkah lain yang dilakukan dalam proses pengurusan
upeti dagang ini adalah dengan cara mengangkat saudara-saudara Sultan
ini menjadi penguasa di daerah yang telah ditaklukkan.
Kehidupan Masyarakat di Kesultanan Siak
Sebagai akibat dari pengaruh agama Islam, tidak terdapat perbedaan yang
mencolok antara rakyat jelata dengan bangsawan. Golongan bangswan yang
termasuk didalamnya adalah keluarga sultan, pembantu-pembantu sultan dan
pegawai Istana. Mereka bertugas untuk menjalankan roda pemerintahan
sehari-hari, sedangkan masyarakat sebagai rakyatnya bertugas untuk
melaksanakan kehidupan mereka masing-masing dan juga untuk menunjang
kehidupan perdagangan seperti bertani sebagai petani, menjaring ikan
sebagai nelayan serta mengumpulkan hasil-hasil hutan.
Dalam kehidupan sehari-hari, Sultan selain bertindak sebagai seorang
kepala negara dan pemerintahan juga bertindak sebagai kepala agama. Oleh
karena kedudukan sultan ini, maka rakyat semakin kuat keinginannya
untuk memeluk agama Islam karena selain didasarkan pada keinginan
sendiri juga karena mengikuti perintah sultan untuk memeluk agama
Islam.
Selain itu, di daerah-daerah ini juga dibangun mesjid-mesjid yang selain
digunakan untuk tempat ibadah juga digunakan sebagai tempat
bermusyawarah, mengajarkan agama Islam, dan mendidik kader-kader dakwah.
Di mesjid sendiri berkumpul unsur pimpinan agama Islam yaitu khadi,
imam, khatib dan bilal. Di samping adanya mesjid ini, dibangun pula
surau yang berfungsi sama seperti mesjid. Yang membedakan antara mesjid
dan surau adalah, di mesjid terdapat mihrab, sedangkan di surau tidak
terdapat mihrab.
Dalam bidang kesenian sendiri, sebagai akibat dari pengaruh Islam,
muncul kesenian yang baru seperti bangunan mesjid, seni ukir, seni
sastra, syair-syair dan bahasa. Seni bangunan mesjid yang bercampur
dengan kebudayaan lama seperti punden berundak-undak yang dicampurkan
dengan menara dan mihrab. Selain itu, perkembangan seni sastra juga
semakin pesat dengan munculnya syair, gurindam, hikayat, zikir dan
tarombo.
Perkembangan sastra yang pesat ini memunculkan antara lain syair perang
siak, Hikayat Hasan dan Husin, Hikayat Bayan Budiman, Tarombo Siri dan
Tambusai. Jenis kesenian lain yang juga berkembang adalah seni suara
yang bercorak Islam seperti bersanji, berzikir, berhikayat, berdah dan
qasidah.
Bergabung dengan Indonesia
![]() |
Potret Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II dan istrinya (1910-1939). Foto: Tropenmuseum |
Daftar Sultan Siak Sri Indrapura
![]() |
Sultan Hashim Abdul Jalil Muzaffar Shah. Foto: Tropenmuseum |
- Sultan Abdul Jalil Rahmad Shah I (1725–1746)
- Sultan Abdul Jalil Rahmad Shah II (1746–1765)
- Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Shah (1765–1766)
- Sultan Abdul Jalil Alamuddin Shah (1766–1780)
- Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Shah (1780–1782)
- Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Shah (17821784)
- Sultan al-Sayyid al-Sharif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Ba'alawi (1784–1810)
- Sultan al-Sayyid al-Sharif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810–1815)
- Sultan al-Sayyid al-Sharif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1815–1854)
- Sultan al-Sayyid al-Sharif Qasim Abdul Jalil Syaifuddin I (Syarif Qasim I, 1864–1889)
- Sultan al-Sayyid al-Sharif Hashim Abdul Jalil Muzaffar Shah (1889–1908)
- Sultan al-Sayyid al-Sharif Qasim Abdul Jalil Syaifudin II (Syarif Qasim II), (1915–1949)
Sumber:
- Ahmad Supandi. 2015. Kesultanan Siak Sri Indrapura : Islam danPerlawanan Terhadap Kolonialisme pada tahun 1760 – 1946 M. (Skripsi)
- Depdikbud. 1982. Sejarah Daerah Riau. Riau: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau
- Yuli S. Setyowati. 2004. Sejarah Riau. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
- Norma Dewi. 1999. Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya. Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kanwil Depdikbud Provinsi Riau Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Riau
Penulis: Ammar Zuhdi dan Malik Maulana Irfan - Universitas Indonesia
Posting Komentar untuk "Kesultanan Siak Sri Indrapura, 1723–1945"